Iseng-iseng membaca naskah monodrama Arkeologi Beha Karya Beny Yohanes karena
naskah tersebut menjadi salah satu syarat festival monolog Yayasan Lanjong.
Beny Yohanes merupakan dosen di STSI Bandung dan karya-karyanya dianggap
sebagai naskah babon dalam dunia perteateran di Indonesia salah satunya bisa
kita lihat Black Jack, Canibalogy, Bin, Arkeologi Beha, dll. Dari beberapa
naskah Beny Yohanes atau kerap disapa Benjon, mempunyai struktur yang unik.
Struktur alur Aritoteles benar-benar dicederai bahkan dimutilasi,
tokoh-tokohnya juga cenderung tidak jelas bahkan beberapa naskah terkesan
seperti orang gila. Latar tempat, waktu, dan sosial nya pun sengaja dihancurkan
untuk memperkuat keabsurdan tokoh, sehingga naskah-naskah Beny Yohanes
terkesan gelap, rumit, dan susah dimengerti namun Benjon suka membubuhkan
hal-hal yang komedi khususnya dalam naskah monolognya sehingga terkesan naskah
dramanya berbau black komedi.
Dalam hal tulisan saya kali ini saya ingin
mencoba mencerna naskah monolog Arkeologi Beha. Untuk memamah naskah ini saya
tidak memiliki bahan yang lain kecuali biografi penulis yang ada di website
kelola.or.id dan tamanismailmarzuki.com. Jadi saya mencoba menyelami diksi dan
kalimat yang ada dalam naskah Arkeologi Beha dengan pengetahuan bahasa yang
saya miliki dan juga mengaitkannya dengan kehidupan saat ini.
Secara fisik naskah ini terdiri dari dua
babak. Babak pertama menceritakan tentang kehidupan tokoh “Te” secara pribadi
dan pandangan-pandangannya terhadap agama dan moral khususnya sex. Babak kedua
menceritakan tentang kehidupan ibunya peran sebagai ibu dan kehidupan seorang
wanita sekaligus ibu dalam sebuah keluarga, namun dalam babak kedua ada sebuah
bagian yang sepertinya terpisah atau sengaja dipisah dari konteks tentang ibu
yakni penceritaan tentang “Azuma” yang diyakini oleh tokoh sebagai manusia
pertama yang hidup di bumi. Dari tiga bagian tersebut saya mencoba menggali
hal-hal yang ingin disampaikan dalam naskah Arkeologi Beha ini. Seolah jalinan
antar bagian merupakan bagian yang terpisah dan saling bertolak belakang.
Penceritaan yang cukup runut kemudian masuk pada bagian-bagian tersebut, seolah
pembaca dituntut bermimpi dalam imajinasi penulis. Jalinan mimpi yang kabur
menciptkan dunia yang kabur tidak jelas mana benar, mana salah, mana baik, mana
buruk. Teks-teks yang dianggap tabu membombardir terus keluar dari dialog
pemain dan dari tata artistik seolah ingin kembali menyadarkan pembaca bahwa
dunia sendiri juga dibentuk oleh kecabulan dan kemesuman yang dibangun oleh
masyarakat, namun masyarakat seolah menutupi hal-hal tersebut dan arkelogi beha
ini mencoba menyadarkan kita kembali dan merenungi kecabulan teks dalam
masyarakat kita.
Arkeologi
Beha, dari konteks judul terdiri dari dua kata yakni “arkeologi” dan “beha”.
“arkeologi” merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan dan kebudayaan pada zaman
kuno berdasarkan benda peninggalannya. “Beha” merupakan penyangga payudara,
dalam sejarahnya beha merupakan pengganti korset pada perang dunia II dan
penggunaannya terus berlanjut hingga saat ini.
Di awal babak pertama kita sudah dihadapkan
pada masalah kontekstual gaya manusia urban seperti kutipan di bawah ini.
SATU
“IRAMA BLUES. LILIN LILIN BIRU
MENYALA DALAM NAMPAN KAYU. SEBUAH KITAB SEDANG TERBUKA. TE MUNCUL DARI BELAHAN
KELAMBU. KEPALA TE BERSELUBUNG KAIN HITAM. DADA TE TERBUNGKUS HANDUK BIRU.
TANGAN TE MENGGENGGAM DAGING BERDARAH.
TE (Menggarang daging di api
lilin.Terdengar dering telepon. TE memperlakukan daging sebagai telepon)
Aku minta cerai. Aku lebih bejat
dari kamu. Aku bercinta dengan mobilku. Itu belum apa apa. Minggu lalu lebih
buruk. Aku bersetubuh dengan keledai mati. Sekarang ?! (menarik nafas)
Sekarang gila dan memuakkan.
Barusan bersanggama dengan
seorang wanita.Dagingnya sih lumayan. Masih berpulsa. Ya! Kucabik
sekerat,sekarang kupakai jadi telepon.
Hei, aku minta cerai. Ya! Salam
kompak selalu.”
Irama Blues, telpon, daging, mobil, keledai,
wanita, dan pulsa menurut saya merupakan diksi kunci dalam adegan ini.
Permasalahan konsumerisme dan perceraian sudah bisa kita cium dalam adegan
pertama ini. Kemudian peran agama dalam masyarakat juga coba di sentil dengan
berani seperti kutipan wawancang dan dialog berikut ini
“(Menaruh gumpalan daging pada
Kitab)
Aku pergi kerja. Agama jangan
kemana mana. Jaga rumah. Ini untuk makan malam. “
Adegan di atas mengisyaratkan seolah kitap
suci dalam sebuah rumah tidak lebih hanya sebagai pajangan saja. Hal ini sama
dengan kebudayaan masyarakat yang lambat laun mulai melupakan agama seolah
agama hanya syarat keberdaan dalam KTP, Agama hanya teks yang menunjukan
eksitensi kita sebagai orang yang beragama, agama gamang dan mati dalam konteks
permasalahan-permaslahan moralitas karena keberadaannya tak lebih sebagai alat
politik atau alat-alat kepentingan yang lain pada saat ini. Existensi agama
juga di senggol pada kutipan di bawah ini.
“(TE membuka selubung kepalanya.
Di atas kepalanya terpasang beha plastik bening serupa topi. TE membuka
behanya.Sekerompol kondom bekas mencurah dari dalam beha)
aku pelacur. tapi aku
kolektor juga. sedekahku, kondom kondom
bekas untuk penduduk yang tergusur.
agama masih sayang sama aku.
(TE memungut kondomnya).
artefak artefak satwa.
untuk pembungkus ketupat, atau
hiasan pohon natal. untuk oleh oleh hari nyepi juga bisa.”
Dari teks di atas saya mencoba memeras
diksi-diksi menjadi dua kata yakni “Kondom” dan “Agama”. Seolah keberadaan
agama tidak bisa mengalahkan keberadaan kondom atau mungkin keduanya mempunyai
tempat yang sama-sama penting dalam masyarakat.
“(Cahaya lilin dikipas. Mati. Irama Blues merambat.Sepi. Cahaya Biru. )
dulu ayah
bilang, setiap anak lelaki punya empat tetek. dua di kepala, dua lagi di
lambungnya. kalau kau mulai kawin, istrimu akan menyedot perlahan dua tetek di kepalamu, untuk
dipindahkan ke dadanya. ritme penyedotan itu senada dengan irama penyerahan slip
gajimu setiap bulannya. kesuburan tetek istrimu mencerminkan naik turunnya
penghasilanmu.”
Teks di atas sepertinya mengisyaratkan bagian
yang penting dalam naskah monolog ini, karena kemunculannya ditandai dengan
bergantinya suasana. Suasana awal yang di rasuki musik blus dan efek cahaya
lilin mulai menghilang. Diksi kepala dan slip gaji, merupakan diksi inti. Akhirnya
kita sedikit mengetahui kemanakah arah pembicaraan tentang beha dan payudara
ini. Keberadaan laki-laki yang ternyata memiliki payudara di kepala
disambungkan dengan keberadaan slip gaji yang disedot istrinya. Hal ini
memperlihatkan kehidupan keluarga yang memang tidak akan jauh dari kondisi
keberadaan uang,
Kemudian diakhir adegan satu, seolah tokoh “Te” kembali memperolok agama dibalik optimistiknya tentang tuhan tersembunyi pesimistiknya tentang tuhan pula
“(TE menyentuh Kitab)
agama,
kamu belum makan malam ? nggak doyan daging wanita ? ini masalahku, selalu
gagal menebak jenis kelamin agama. tapi aku percaya, tuhan itu satu. supaya
gampang membunuhnya.
(TE
menghidupkan lagu ‘Possesif’ dari NAIF)”
Dari jalinan teks pada babak satu ini diksi
agama merupakan diksi yang paling banyak disebut. Hal ini membuktikan bahwa pada
babak satu, naskah mencoba berbicara tentang agama yang gagal meluruskan
kehidupan orang-orang urban yang matrealistik. babak dua Arkeologi Beha: Ayah dan Ibu
0 komentar :
Post a Comment