Bagi
saya hatedu itu hanyalah sebuah nama dan sebuah formalitas untuk bersama-sama
berpentas. Teater dalam perjalanannya mulai digantikan oleh media elektronik
namun teater dengan segala tetek bengeknya masih menawarkan artistik dan daya
pengucapan yang tidak bisa digantikan dengan layar smartphone: Keintiman,
kejujuran, dan kemurnian.
Pertanyaan
berikutnya yang perlu dijawab adalah seberapa pentingkah teater untuk sebuah
peradapan? Di masa lalu teater dianggap sebagai sesuatu yang diperlukan untuk
merefleksikan kehidupan, ritual, dan simbol sebuah peradapan. Namun hari ini?
Apakah teater masih bisa menjadi barometer itu semua atau perannya sudah habis?
Dan digantikan dengan bentuk yang lain. Apakah yang terjadi jika masyarakat
kehilangan teater?
Masih
banyak sederet pertanyaan existensial mengenai teater yang harus kita jawab
bersama untuk selanjutnya kita putus kan akan kita hidupkan atau bunuh
bersama-samakah teater?
Dalam
momen Hatedu ini, Pawon Cerklacer yang bekerjasama dengan berbagai komunitas
mencoba menjawabnya dengan mengumpulkan berbagai pertunjukan untuk kita
renungkan bersama layakah teater tumbuh di antara peradaban kita hari ini? Atau
mari bersama-sama kita akhiri peradaban teater kita.
Nayla dan Imajinasi Yang Runtuh
Sex, wanita, tubuh, dan imajinasi
mungkin serangkaian laku teater dalam kamar laki-laki.
Panggung
yang dibiarkan remang dengan sorotan layar monitor menerpa wajah aktor dengan
samar-samar kemudian muncul lagu seriosa yang menambah suasana gotik dalam
gedung PKM membuka pementasan malam itu. Ada layar LCD proyektor yang terlihat
membuka folder dan dilanjutkan membuka microsoft word. Dari sini saya merasakan
kedekatan yang monumental dalam atmosfir yang tersusun pada malam itu.
Aktor
melanjutkan perjalanan cerita malam itu dengan mengetik dalam gelap yang
remang. Seluruh pertunjukan dirajut dengan suara ketikan cerpen Jenar Maesa Ayu
yang berjudul "Menyusu Ayah" yang menceritakan kisah seorang anak
yang sedari kecil menyusu kemaluan ayahnya yang akhirnya berakhir pada
kehamilannya lalu diakhiri kemunculan aktor yang menegaskan bahwa dirinya
adalah Nayla, kemunculannya yang meruntuhkan segala bangunan yang disusun dari
puing-puing dramaturgi (realis) yang ia kacaukan sendiri. Kemunculan yang
akhirnya meruntuhkan dramaturginya sendiri.
Imajinasi
kita sebagai penonton yang membaca terbangun bersama alunan lagu seriosa yang
dijejalkan ke dalam telinga kita. Sebuah pertunjukan yang berbasis gagasan.
Mengedepankan idealisme untuk menyampaikan gagasan dengan konsep pemanggungan
untuk memperkuat gagasannya.
Keberadaan
wanita dengan segala imajinasi liar mengenai tubuh dan keber-ada-annya dalam
sudut pandang pemuas hasrat terbangun dalam imajinasi saya sebagai penonton.
Cerita itu merajut visual dirinya dalam kepala saya dengan alunan musik
seriosa. Namun sungguh sangat disayangkan kemunculan aktor diakhir yang tidak
memiliki kekuatan apa-apa dan kesannya menjadi tempelan dan formalitas belaka.
Badogan:Perut Mengalahkan Kepala
Badogan
adalah bahasa Jawa yang paling kasar yang menggantikan diksi mangan, nedho, madang (baca:makan) dll.
Badogan sebuah pertunjukan nirdialog
yang disuguhkan dengan gagasan yang gurih oleh STJ (studiklub teater jember).
Gagasan yang akan terus tumbuh dan berganti kulit. Saya jadi ingat salah satu
potongan puisi Rendra yang berjudul "Sajak Orang Lapar" bunyinya
seperti ini
"
Allah !
burung
gagak menakutkan
dan
kelaparan adalah burung gagak
selalu
menakutkan
kelaparan
adalah pemberontakan
adalah
penggerak gaib
dari
pisau-pisau pembunuhan
yang
diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin
Kelaparan
adalah batu-batu karang
di
bawah wajah laut yang tidur
adalah
mata air penipuan
adalah
pengkhianatan kehormatan
Seorang
pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat
bagaimana tangannya sendiri
meletakkan
kehormatannya di tanah
karena
kelaparan
kelaparan
adalah iblis
kelaparan
adalah iblis yang menawarkan kediktatoran"
Antara
puisi Rendra yang berjudul "Sajak Orang Lapar" dan pertunjukan STJ
mewakili semangat yang sama. Kelaparan mampu mengalahkan logika, etika, moral,
apalagi kebudayaan. Kelaparan mampu berevolusi menjadi kerakusan, kediktatoran,
lalu menegaskan keberadaan manusia yang sama dengan hewan.
Pertunjukan
yang 75%isinya adalah adegan makan (imajinatif maupun sebenarnya) dan saling
memakan, mengisi relung-relung sudut panggung dengan gruping-gruping yang
tersusun rapi dan renyah. Ada dua aktor di sisi kanan dan kiri yang terlihat
membangun dimensi yang berbeda dengan pertunjukan yang ada ditengahnya. Seolah
aktor yang ada di kanan adalah pencatat dengan aksi yang terus mengetik dengan
mesin tik dan aktor di kiri (yang diperankan pak ajiz, sutradara) adalah
pembaca yang terus membaca koran. Seolah peristiwa kelaparan yang terjadi di
tengah adalah rangkaian huruf yang membentuk sejarah manusia dan akan terus
berubah narasi namun memiliki saripati yang sama.
Anak Angsa Yang Ingin Mencapai Bulan
Sebentar,
kenapa saya menulis judul yang seperti ini? Entahlah, saya akan mencoba
mengupas pertunjukan Teater Angsa dari SMK 5 Jember meskipun saya tidak konsen
dalam melihatnya karena saya dalam kondisi deg-degan sebab setelah ini saya
juga pentas. (Paragraph gak penting)
Hmm...
Tubuh se imut mereka sedang mengartikulasikan tragedi hilangnya para aktipis.
Ini adalah seauatu yang sah dan merupakan bentuk menolak lupa terhadap sejarah
kelam bangsa ini. Seandainya semua anak SMA seperti itu, borok penguasa negeri akan terus melekat dalam ingatan kolektif kita dan menegaskan pemerintah itu
bukan ayah kita sepenuhnya tapi mereka juga musuh kita yang patut kita curigai.
Meskipun
secara pertunjukan mereka mengusung konsep nonrealis namun dalam akting mereka
masih mencoba menjadi orang lain dan di sinilah mereka perlu belajar menubuhkan
tokoh atau memanggungkan tubuh
Tubuh-tubuh
yang dijejali tema yang jauh dari sejarah tubuh mereka terlihat cukup jelas.
Sehingga keragu-raguan tubuh terlihat cukup miris. Rajutan tubuh yang ragu-ragu
menemani atmosfir pada malam itu. Saya merasa ada jarak yang cukup jauh antara
tubuh, adegan, dan diksi-diksi yang mereka sampaikan mungkin observasi yang
mereka melakukan adalah observasi alakadarnya ( hanya dari lagu efek rumah kaca).
Padahal tema-tema semacam ini adalah tema yang sensitive dan memerlukan
observasi mendalam agar tubuh aktor-aktornya mampu menangkap spirit temanya
sehingga tubuhnya tidak hanya bergerak namun juga menyemburkan aura tema
yang mereka angkat. Akhirnya adegan-adegan yang seharusnya kuat menjadi hambar.
Kurma Dan Hal-hal Yang Tak Tersampaikan
Saya
harus gimana ya memulainya? Soalnya saya yang menyutradarainya sekaligus
menjadi aktor, masak iya, saya juga mencoba mengkritik pementasan saya sendiri.
Biarlah ini menjadi catatan pribadi saya sebagai penggarap.
Konsep
saya adalah mengaburkan dinding ke empat yang memisahkan antara penonton dan
alam panggung. Sebenarnya tujuan saya adalah konsep pemanggungan Brecht yang
mampu merangsang daya kritis penonton dengan menyadarkan mereka bahwa ini
hanyalah pertunjukan. Tapi entahlah, bentuk pertunjukan yang mirip dengan
konsep pertunjukan tradisi ini menawarkan komedi sebagai pembalut
gagasan-gagasannya. Jangan-jangan penonton tidak melihat pertunjukan sebagai
sesuatu yang perlu dikritisi namun melihat pertunjukan sebagai sesuatu yang
harus ditertawai. Mengingat tradisi menonton kita cenderung menertawakan
mungkin kita bangsa yang suka menertawakan orang lain, seperti tradisi-tradisi
teater yang diadopsi televisi, mereka membuat teater harus ditertawakan.
Jangan-jangan
bentuk alienasi pertunjukan ini justru membuat mereka lupa dengan kehidupan
mereka karena humor yang disampaikan justru membuat orang lupa terhadap esensi
yang ada di dalamnya. Itulah kelemahan bentuk pemanggungan ini. Humor di dalam
tradisi kita selalu dipandang sebagai obat lupa, obat lupa terhadap segala
carut-marutnya kehidupan kita.
Teror Botol yang Hoax
Sebelumnya
saya tegaskan, saya hanya melihat gladinya saja. Pementasan dari teater
gelanggang ini menawarkan akting yang menjadi diri sendiri yang sibuk dan
bermain-main seperti mereka setiap harinya.
Saya
pernah menonton pementasan Teater Gelanggang beberapa tahun yang lalu bersama
UKM Kesenian UNEJ dan saya rasa pementasan mereka yang kemaren, "Anatomi
Botol" merupakan bentuk pembuktian mereka bahwa mereka sudah berkembang
dan mulai menemukan bentuk mereka.
Banyak
sekali suara botol jatuh, suara botol digesek-gesek. Botol secara audio meneror
penonton. Banyak botol dilempar-lempar, botol digantung-gantung bahkan beberapa
kepala mereka diganti dengan galon. Teror botol secara audio maupun visual
mengepung gedung pertunjukan malam itu, menjadikan gedung banjir botol.
Menegaskan
bahwa kita masyarakat urban tidak bisa jauh dari barang-barang plastik atau
botol plastik. Namun yang menarik adalah seolah-olah botol di sini memiliki
makna ganda, selain botol secara sebenarnya, sutradara ingin mengarahkan botol
sebagai simbol media. Botol yang ditiup hoax, botol yang dijadikan alat
komunikasi, presenter yang menarik penonton untuk di interogasi pertanyaan hoax
dan melahirkan jawaban-jawaban hoax secara sepontan namun terstruktur.
Pertunjukan
ini sebagian besar dirajut dari jalinan laku performance art. Di dalam
perfotmance art tidak ada akting, dan tipuan., semua dilakukan dengan jujur dan
apa adanya.
Namun
yang menarik adalah explorasi kawan-kawan gelanggang yang tetap tidak
meninggalkan siapa mereka? Dalam artian explorasi yang mereka lakukan adalah
guyonan mereka setiap hari jadi bagi yang mengenal mereka, yang mereka lakukan
adalah main-main dan celoteh mereka sehari-hari. Mereka hanya mentransfernya ke
dalam bentuk pemanggungan. Bahkan sebelum masuk mereka sempat bermain-main di
luar panggung, main-main yang meneror penonton dengan kebisingan suara botol
digesek dan celotehan-celotehan mereka.
Namun
bagi saya ada sebuah kesayangan yang berupa inkonsistensi dalam pertunjukan
itu. Mungkin mereka ingin memberikan aksen tertentu atau apa? namun saya merasa
ada sebuah adegan yang kurang pas (di hati saya), yakni: ketika masuk gerakan
butoh dalam tubuh aktor berkepala galon, mereka akhirnya mencoba keluar dari
dimensi awal yang mereka bangun yakni dimensi kejujuran dan kepolosan mereka
dari rangkaian akting performance art. Di awal mereka menawarkan tubuh yang
polos dan tanpa tendesi untuk "menjadi" namun diruntuhkan oleh tubuh
butoh mereka sendiri.
Hartedu Itu Cuma Alibi
Entahlah.
Bagi saya pribadi Hatedu hanyalah sebuah alibi untuk bersama-sama pentas. Tidak
ada cita-cita yang muluk-muluk bagi saya meskipun sebenarnya ada rangkaian
acara yang tidak terlaksana namun bagi saya bisa pentas dan melihat bagaimana
kelompok lain juga memiliki semangat yang sama, sudah cukup.
Sebuah
pertanyaan penting yang harus dijawab oleh para pelaku teater malam itu adalah
“Kapan Pentas Lagi?”