Wednesday 5 October 2022

Kanjuruan dan Kegagalan Pendidikan Emosi

Pendidikan emosional

 Baru-baru ini santer peberitaan mengenai Tragedi Kanjuruan, Sebuah Tragedi persepakbolaan yang akhirnya menewaskan sekitar 125-174 korban jiwa. Kejadian terjadi ketika laga sepak bola antara dua musuh bebuyutan: Persebaya VS Arema. Pertandingan ini berlangsung di Stadion Kanjuruhan Malang Jawa Timur yang berakhir dengan kemenangan Persebaya atas Arema 3:2. 

Kemenangan Persebaya di kandang Arema membuat seluruh pendukung Arema kalap. Begitu pertandingan usai, banyak dari mereka berbondong-bondong turun ke lapangan. Mereka tidak bisa mengendalikan perasaan tidak terima mereka karena tim jagoannya kalah. Mereka mulai merusak fasilitas, mencoba menyerang Pemain Persebaya, Tim Keamaanan atau sekelompok polisi mulai panik, dan akhirnya terjadilah insiden penembakan gas air mata yang membabi buta. 

Seluruh kejadian di Kanjuruhan adalah ketidak mampuan kita dalam mengendalikan emosi. Para fans tidak bisa menerima emosi negatif. Emosi ini mendorong mereka melakukan tindakan-tindakan anarkis. Emosi-emosi inilah yang menyebabkan mereka tidak bisa berfikiran secara sehat. Dan memang keterampilan mengendalikan emosi tidak diajarkan di sekolah. 

Kemampuan mengendalikan emosi menjadi penting karena emosi itu memang bagian dari diri kita dan akan selalu menyertai kita kemanapun kita berada. Emosi juga bahan bakar utama manusia untuk melakukan sesuatu, termasuk melakukan pembunuhan, pemerkosaan, menolong, dan lain sebagainya. Maka jika kita tidak diajari hidup bersama dengan emosi kita maka emosi kita yang akan sesuka hati mengendalikan diri kita.

Salah satu yang paling terlihat sekarang ini adalah ketidak mampuan kita hidup tanpa handphone. Coba rasakan, emosi apa yang akan kita terima begitu kita tidak memegang handphone selama 3 jam ketika sedang antri? Pasti akan muncul rasa gelisah. Emosi ini juga salah satu hal yang musti kita kendalikan karena memang untuk antri kita tidak perlu handphone, kita hanya perlu menunggu namun emosi mengatakan dan menginginkan hal yang lain sehingga dia menimbulkan reaksi yang lain pula.

Kita tidak pernah diajari jika perasaan gelisah itu datang apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus menuruti kegelisahan kita? Ketika marah itu datang apakah kita harus melakukan apa yang diinginkan oleh marah? Pada kenyataannya seluruh kegiatan kita dikendalikan oleh emosi bahkan mungkin 90 persen kehidupan kita dikendalikan oleh emosi namun pendidikan mengenai emosi itu minim sekali,kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan emotional education terasa sangat jarang.

Padahal usia-usia sekolah adalah puncak dari kerja-kerja emosi. Dalam usia-usia sekolah ini pelajar sering merasakan emosi-emosi yang meluap-luap dan susah untuk mereka kendalikan. Pelampiasan emosi-emosi ini bisa berbentuk pada hal-hal yang negatif yang disebut dengan penyimpangan. Jika mereka tidak diajari untuk menyalurkan emosi yang baik maka bukan tidak mungkin mereka akan menyalurkannya pada hal-hal yang negatif.

Pendidikan Emosi yang berada di sekolah terasa kurang. Guru di kelas hanya fokus pada kegiatan-kegiatan kognitif sehingga pendidikan karakter yang selama ini ada di dalam kurikulum terkesan hanya tempelan atau formalitas saja. Bimbingan Konseling juga tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan pembinaan karakter. Kurikulum kita harus dievaluasi lagi apakah dia memiliki ruang yang cukup untuk aspek-aspek yang lain?

karena pada kenyataannya kehidupan manusia tidak hanya mengenai keunggulan kognitif saja namun ada yang mengatakan 80 persen kesuksesan seseorang ditentukan dari kecerdasan emosionalnya jika pernyataan ini benar berarti kegiatan di sekoah seharusnya 80 persen merupakan pendidikan emosi.


Klik untuk Berlangganan Tulisan

Masukan Email Anda:

0 komentar :

Post a Comment