Saat ini sedang terjadi polemik terkait nasab Ba'alawi, sebuah marga besar yang diakui sebagai keturunan Rasulullah. Banyak klaim sejarah yang dibelokan oleh klan ini yang mungkin memiliki kepentingan politis untuk menegaskan status sosial mereka di tengah masyarakat pribumi. Tidak hanya itu, beberapa di antara mereka berceramah dengan bahasa yang kasar dan provokatif, sehingga memicu perpecahan di antara masyarakat Indonesia. Namun, di sisi lain, banyak juga di antara mereka yang menyumbangkan ilmu dan pemikiran yang baik, serta berceramah dengan bahasa yang santun dan manusiawi. Artinya, klan ini menjadi objek pujian dan kritikan.
Lalu, pertanyaannya adalah: apakah kita perlu mencintai mereka? Terlepas dari benar atau tidaknya nasab mereka, wallahu a'lam. Sebagai orang awam, saya hanya bisa menyaksikan perdebatan sengit yang terjadi di dunia maya. Banyak hal yang tidak saya setujui terkait pernyataan-pernyataan klan Ba'alawi, namun juga banyak hal yang saya sepakati. Pro dan kontra adalah hal yang wajar. Lalu, bagaimana seharusnya sikap kita?
Mencintai keturunan Nabi adalah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul. Meskipun begitu, saya pribadi merasa kagum dengan nasab mereka yang mulia. Memiliki darah daging yang mengalir dari Nabi Muhammad adalah suatu keistimewaan. Namun, kita perlu berhati-hati agar tidak sampai menyembah mereka, karena Nabi sendiri melarang umatnya untuk menyembah selain Allah.
Lalu, bagaimana cara mencintai mereka? Apakah sama dengan mencintai orang tua atau pasangan? Tentu saja tidak. Cinta kepada keturunan Nabi adalah bentuk penghormatan yang tinggi, namun tidak berarti kita harus membenarkan segala perbuatan mereka. Kita perlu mengingat bahwa mereka juga manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa dosa keturunan Nabi akan lebih besar jika mereka melakukan perbuatan buruk. Oleh karena itu, kita harus berani mengingatkan mereka jika mereka berbuat salah.
Saya sangat mencintai anak-anak saya. Ketika mereka berbuat salah, saya akan menegur dan menghukum mereka agar mereka belajar dari kesalahannya. Analogi ini bisa kita terapkan dalam konteks mencintai keturunan Nabi. Cinta tidak lantas membuat kita buta terhadap kesalahan orang yang kita cintai.
Mereka memang memiliki garis keturunan yang sangat mulia. Namun, cinta kita harus disertai dengan sikap kritis. Jika mereka benar, kita hormati. Jika mereka salah, kita ingatkan dengan cara yang baik.
0 komentar :
Post a Comment