Tuesday, 16 April 2019

Kekerasan dalam Dunia Pendidikan dan Emotional Quotient

Masih melekat diingatan kita kasus mengenai seorang anak smp di Gresik yang menantang gurunya. Kemudian berlusin-lusin guru yang dijebloskan ke penjara gara-gara melakukan tindakan kekerasan kepada muridnya dengan dalih bentuk punishment.Ada pula seorang murid di Sampang Madura yang memukul gurunya hingga tewas. Juga yang baru saja menyita perhatian kita semua-selain pilpres- tagar #justiceforaudrey. Dan beragam bentuk kekerasan lain di dalam dunia pendidikan. Semakin maraknya kasus kekerasan di dalam lembaga pendidikan seharusnya menjadi evaluasi untuk selanjutnya pendidikan berevolusi untuk mengatasi berbagai masalahnya.

Kekerasan terjadi karena bentuk pelampiasan dari kemarahan atau emosi yang lain. Kekerasan terjadi karena manusia tidak menemukan cara untuk meredam atau melampiaskannya dalam bentuk yang lain. Maka dari itu menemukan atau mengajarkan cara untuk mempergunakan emosi untuk hal yang positif perlu diajarkan di dalam dunia pendidikan. Bahkan mungkin dimasukan ke dalam kurikulum secara langsung. Bukankah kesuksesan seseorang banyak dipengaruhi oleh emotional quotient?

Ketidakmampuan mengontrol emosi ini bukan hanya menyebabkan kekerasan namun bisa berakibat yang lain: permusuhan, bullying (online atau offline), depresi, bunuh diri, dll.

Internet sebagai penyumbang peradaban terbesar saat ini juga berkontribusi besar untuk memperlihatkan kepada kita sampai dimanakah kemampuan kita dalam mengontrol emosi. Jika anda lihat di dalam kolom komentar sebuah berita yang hangat atau sensasional, di situ bersemayam komentar nyinyir bentuk pelampiasan emosi mereka. Di dalam kolom-kolom komen game onlinepun juga sama, kata atau kalimat pedas bahkan sampai mengumpat akan banyak kita jumpai dan ironisnya banyak di antaranya adalah anak-anak usia sekolah bahkan ada yang masih SD.

Sama halnya seperti kekerasan, kolom komentar yang terkadang menjadi lahan olok-olok adalah bentuk pelampiasan kekesalan karena emosi yang terpancing. Orang-orang ini dengan cepat menggunakam media sosial untuk melampiaskan rasa marahnya. Tidak jarang apa yang mereka lakukan ini justru berbuntut ke penjara karena melanggar UU ITE.

Selama ini yang dipahami oleh masyarakat bahkan oleh sebagian pendidik sendiri, pembelajaran emosional dilakukan dengan memanggil lembaga luar untuk melakukan semacam shock therapy. Menurut saya, hal ini hanya hiburan sehari saja untuk melihat siswa kita menangis secara maraton dalam sebuah ruangan dengan memperdengarkan ilustrasi sedih dan memperlihatkan slide-slide yang berisi gambar-gambar mengerikan. Pendidikan emosional itu perlu dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Emosi itu lebih rumit dan terlalu sedehana untuk ditaklukan dalam sehari. Efek yang cepat juga akan menghilang secepat dia datang.

Pengendalian emosi adalah perang yang paling besar. Melawan musuh besar seharusnya diajarkan mulai dini. Hal ini juga pernah dipesankan oleh Rasulullah: pada saat kaum muslimin selesai Perang Uhud Rasulullah SAW berkata, "Kita baru pulang dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu." Perkataan Rasulullah ini juga patutnya kita jadikan renungan untuk lebih memahami apa yang ada di dalam tubuh kita masing-masing. Dan pendidikan harus mengambil andil dalam peperangan ini. Klik untuk Berlangganan Tulisan

Masukan Email Anda:

1 comment :

  1. As stated by Stanford Medical, It's indeed the SINGLE reason this country's women live 10 years longer and weigh an average of 19 KG lighter than us.

    (And by the way, it has absolutely NOTHING to do with genetics or some secret-exercise and really, EVERYTHING to do with "how" they eat.)

    BTW, I said "HOW", and not "what"...

    TAP this link to uncover if this little questionnaire can help you find out your real weight loss potential

    ReplyDelete