Monday 22 April 2019

Pagi Bening dan Keparadoksannya


Madura. Sebuah kata yang mewakili salah satu suku yang cukup fenomenal di Nusantara ini. Madura sering diidentikan dengan kekerasan, mungkin budaya carok dan sejarah sampit membentuk biografi Madura dengan identitas keras-dan ternyata memang begitu adanya. Di samping watak keras yang telah mendarah daging, madura juga memiliki stereotip yang lain di mata etnis lain. Bahkan Agus R Sarjono dalam cerpen Mahwi Air Tawar Mengungkapkan "Madura selalu menempati tempat khas dan unik di batin bangsa Indonesia. Ada satu masa tak ada lawakan yang tidak ada sosok maduranya, tentu dengan logat bicaranya yang khas." Memang, Madura juga kerap diidentikan dengan kelucuan dan keluguan. Saya memiliki banyak kawan Madura, alih-alih menganggap mereka garang saya malah lebih mampu melihat kelucuan dan keluguan mereka.

Paradoks keras dan lucu itulah yang menjadi watak masyarakat Madura dan itu mampu dihadirkan oleh pertunjukan "Pagi Bening" karya Serafin dan Joaquin sutradara: Anwari yang di pentaskan di Pendopo Fakultas Ilmu Budaya Universitas Negeri Jember 1April yang lalu sebagai pertunjukan simulasi yang akan dipertunjukan di Salihara Jakarta. Kerasnya sosok wanita: Masbia dalam pertunjukan itu juga nampak dengan keberaniannya menantang sosok Maskat. Kelucuan demi kelucuan juga dinampakan dari pertengkaran dua tokoh itu. Di awal pertunjukan dua tokoh ini berebut tempat untuk duduk melihat pertunjukan "Topeng" kemudian terjadilah percekcokan, bahkan saling umpat dan saling ejek yang akhirnya didamaikan oleh kopi lalu berlanjut obrolan-obrolan santai dan intim yang menceritakan masa lalu orang terdekat mereka yang saling cinta tapi tidak pernah bisa bersatu padahal itu adalah masa lalu mereka sendiri. Mereka akhirnya mengetahui bahwa lawan bicaranya itu (Masbia dan Maskat) adalah mantan kekasihnya. Dua tokoh yang mungkin sudah memasuki usia sekitar 70an itu masing-masing membawa pembantu yang kadang menampilkan kelucuan khas madura, dengan logat dan tingkah polah khas masyarakat udik. Elyda K, dengan piawai mampu mentransformasi teks ini ke dalam budaya etnis Madura (perjodohan sejak dalam kandungan, kehidupan kyai di madura, harga diri, dll.), dia menarik peristiwa-peristiwa PKI ke dalam teks ini yang mungkin akan menjadi sebuah teks yang bermuatan sejarah.

Secara keseluruhan adaptasi teks yang dilakukan sangat rapi. Kerapiannya ini bisa menjadi paradoks: kelebihan sekaligus kekurangannya (setidaknya menurut saya). Jika saya andaikan Elyda sudah mampu mengganti kulit putih manusia sepanyol menjadi kulit coklat manusia madura beserta identitas lain yang menyertainya. Dalam artian struktur dramatik dari teks ini sebenarnya tidak berubah terlalu banyak: eksposisi, komplikasi, evaluasi, dan resolusinya pada tempat dan porsi yang kurang lebih sama dengan naskah aslinya. Hal ini merupakan proses adaptasi yang ketat dengan tidak membongkar satupun kerangka dramatik yang diciptakan pengarangnya.

Pada awal saya mendengar bahwa Anwari akan pentas menggunakan naskah "Pagi Bening" saya menganggapnya sebagai lelucon dengan intensitas kelucuan yang tinggi. Saya seperti mendengar Burger Kill yang ingin menyanyikan lagu Yolanda. Anwari dikenal sebagai seniman teater yang banyak membawa bentuk pertunjukan yang erat kaitannya dengan teater tubuh. Saya jadi kembali mengira-ngira "seperti apa kira-kira pertunjukannya?" Saya membayangkan pengadaptasian dilakukan dengan "liar" menerobos kaidah-kaidah realis dan menjadi dirinya seperti biasa. Saya jadi ingat "Machine Hamlet" karya Heiner Muller, saya kira, adaptasinya akan jadi semacam itu. Dimana Muller mungkin bukan mengadaptasi lagi tapi mendekontrukasi naskah drama "Hamlet" sehingga struktur, tematik, dialog benar-benar dimutilasi kemudian dari potongan-potongannya muncul makhluk yang baru dari kuburan Shakespare.

Tipografi Panggung Parafoks

"Kami mencoba menciptakan ruang-ruang privat antar aktor" ungkap dramaturg pertunjukan malam itu, Yuda. Sementara anwari ingin menghilangkan sekat antara pemain dan penonton

Panggung dibuat menjadi lima ruang (mungkin). Ruang 1: tokoh maskat, Ruang 2: tokoh masbia, Ruang 3: pembantu Masbia, ruang 4 pembantu Maskat, ruang 5: para pemusik. Mereka dengan disiplin berada di dalam ruang masing-masing dan tidak memasuki ruang pemain yang lain meskipun naskah mengharuskan mereka berinteraksi secara fisik hal itu dilakukan dengan seolah-olah. Seolah mereka berdampingan padahal tidak. Seperti cermin yang terbelah-belah.

Tawaran pemanggungan semacam ini cukup menarik. Namun menjadi sebuah kemubaziran ketika aktor-aktor masih ada di panggung yang sama akhirnya penonton masih melihatnya sebagai sebuah kesatuan. Pemanggungan semacam ini memungkinkan tokoh satu dan yang lain tidak berada di lingkup prosenium yang sama. Pemanggungan semacam ini memungkinakan untuk merespon lingkungan sekitar pertunjukan dengan meletakan aktor satu di bawah pohon dan aktor yang lain di tempat lapang dan terbuka atau bahkan di kuburan (jika perlu).

Keparadoksannya juga tidak dikelola secara konsisten. Pecahnya batas panggung dan pentonton hanya diciptakan oleh satu tokoh saja:Masbia. Di awal pertunjukan dia mengatakan bahwa pertunjukan ini akan dimulai, kemudian dia menunjukan kekayaannya dengan membagi-bagikan uang kepada penonton. Tapi pecahnya ruang privat ini tidak dilakukan oleh tokoh yang lain.

Secara keaktoran masing-masing tokoh mampu menunjukan kekuatannya di panggung. Mereka mampu mengolah dan membentuk suasana Madura dengan logat (ketika bicara Bahasa Madura), imajinasi, dan tingkahnya. Secara keselurahan aktor bermain cukup bagus, hanya saja mereka masih terjebak dengan logat Bahasa Indonesia. Entah ini strategi yang digunakan penggarap atau bagaimana? Tapi saya melihat ketika aktor(khususnya Masbia) mendialogan dialog Berbahasa Indonesia kemaduraannya menjadi hilang. Secara Fonetik dan intonasi dia menggunakan milik Bahasa Indonesia logat Maduranya hilang ketika menggunakan Bahasa Indonesia.

Secara individual Anwari susah dipisahkan dengan teater tubuh maupun teater antropologinya (yang masih berbau ketubuhan). Pertunjukan yang memperoleh kehormatan tampil di Salihara pada tanggal 8-9 April ini bagi saya seperti upaya melepaskan diri dari biografi yang dibangun Anwari sendiri. Bukan berarti yang dia lakukan salah tapi saya rasa ini adalah sebuah langkah berkembangnya Padepokan Seni Madura dan Anwari. Sebagai sebuah perjalanan tentu ada tujuan yang ingin dicapai. Dan saya rasa pertunjukan yang indah karya Padepok Seni Madura ini akan mempengaruhi biografi mereka selanjutnya.


Klik untuk Berlangganan Tulisan

Masukan Email Anda:

0 komentar :

Post a Comment