Sunday 15 February 2015

Arkeologi Beha: Kehidupan Urban yang Rakus

arkeologi beha

Iseng-iseng membaca naskah monodrama Arkeologi Beha Karya Beny Yohanes karena naskah tersebut menjadi salah satu syarat festival monolog Yayasan Lanjong. Beny Yohanes merupakan dosen di STSI Bandung dan karya-karyanya dianggap sebagai naskah babon dalam dunia perteateran di Indonesia salah satunya bisa kita lihat Black Jack, Canibalogy, Bin, Arkeologi Beha, dll. Dari beberapa naskah Beny Yohanes atau kerap disapa Benjon, mempunyai struktur yang unik. Struktur alur Aritoteles benar-benar dicederai bahkan dimutilasi, tokoh-tokohnya juga cenderung tidak jelas bahkan beberapa naskah terkesan seperti orang gila. Latar tempat, waktu, dan sosial nya pun sengaja dihancurkan untuk memperkuat keabsurdan tokoh, sehingga naskah-naskah Beny Yohanes terkesan gelap, rumit, dan susah dimengerti namun Benjon suka membubuhkan hal-hal yang komedi khususnya dalam naskah monolognya sehingga terkesan naskah dramanya berbau black komedi. 

Dalam hal tulisan saya kali ini saya ingin mencoba mencerna naskah monolog Arkeologi Beha. Untuk memamah naskah ini saya tidak memiliki bahan yang lain kecuali biografi penulis yang ada di website kelola.or.id dan tamanismailmarzuki.com. Jadi saya mencoba menyelami diksi dan kalimat yang ada dalam naskah Arkeologi Beha dengan pengetahuan bahasa yang saya miliki dan juga mengaitkannya dengan kehidupan saat ini.

Secara fisik naskah ini terdiri dari dua babak. Babak pertama menceritakan tentang kehidupan tokoh “Te” secara pribadi dan pandangan-pandangannya terhadap agama dan moral khususnya sex. Babak kedua menceritakan tentang kehidupan ibunya peran sebagai ibu dan kehidupan seorang wanita sekaligus ibu dalam sebuah keluarga, namun dalam babak kedua ada sebuah bagian yang sepertinya terpisah atau sengaja dipisah dari konteks tentang ibu yakni penceritaan tentang “Azuma” yang diyakini oleh tokoh sebagai manusia pertama yang hidup di bumi. Dari tiga bagian tersebut saya mencoba menggali hal-hal yang ingin disampaikan dalam naskah Arkeologi Beha ini. Seolah jalinan antar bagian merupakan bagian yang terpisah dan saling bertolak belakang. Penceritaan yang cukup runut kemudian masuk pada bagian-bagian tersebut, seolah pembaca dituntut bermimpi dalam imajinasi penulis. Jalinan mimpi yang kabur menciptkan dunia yang kabur tidak jelas mana benar, mana salah, mana baik, mana buruk. Teks-teks yang dianggap tabu membombardir terus keluar dari dialog pemain dan dari tata artistik seolah ingin kembali menyadarkan pembaca bahwa dunia sendiri juga dibentuk oleh kecabulan dan kemesuman yang dibangun oleh masyarakat, namun masyarakat seolah menutupi hal-hal tersebut dan arkelogi beha ini mencoba menyadarkan kita kembali dan merenungi kecabulan teks dalam masyarakat kita.

Arkeologi Beha, dari konteks judul terdiri dari dua kata yakni “arkeologi” dan “beha”. “arkeologi” merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan dan kebudayaan pada zaman kuno berdasarkan benda peninggalannya. “Beha” merupakan penyangga payudara, dalam sejarahnya beha merupakan pengganti korset pada perang dunia II dan penggunaannya terus berlanjut hingga saat ini.

Di awal babak pertama kita sudah dihadapkan pada masalah kontekstual gaya manusia urban seperti kutipan di bawah ini.
SATU

“IRAMA BLUES. LILIN LILIN BIRU MENYALA DALAM NAMPAN KAYU. SEBUAH KITAB SEDANG TERBUKA. TE MUNCUL DARI BELAHAN KELAMBU. KEPALA TE BERSELUBUNG KAIN HITAM. DADA TE TERBUNGKUS HANDUK BIRU. TANGAN TE MENGGENGGAM DAGING BERDARAH.

TE (Menggarang daging di api lilin.Terdengar dering telepon. TE memperlakukan  daging sebagai telepon)

Aku minta cerai. Aku lebih bejat dari kamu. Aku bercinta dengan mobilku. Itu belum apa apa. Minggu lalu lebih buruk. Aku bersetubuh dengan keledai mati. Sekarang ?! (menarik nafas)
Sekarang gila dan memuakkan.
Barusan bersanggama dengan seorang wanita.Dagingnya sih lumayan. Masih berpulsa. Ya! Kucabik sekerat,sekarang kupakai jadi telepon.

Hei, aku minta cerai. Ya! Salam kompak selalu.”

Irama Blues, telpon, daging, mobil, keledai, wanita, dan pulsa menurut saya merupakan diksi kunci dalam adegan ini. Permasalahan konsumerisme dan perceraian sudah bisa kita cium dalam adegan pertama ini. Kemudian peran agama dalam masyarakat juga coba di sentil dengan berani seperti kutipan wawancang dan dialog berikut ini
“(Menaruh gumpalan daging pada Kitab)

Aku pergi kerja. Agama jangan kemana mana. Jaga rumah. Ini untuk makan malam. “

Adegan di atas mengisyaratkan seolah kitap suci dalam sebuah rumah tidak lebih hanya sebagai pajangan saja. Hal ini sama dengan kebudayaan masyarakat yang lambat laun mulai melupakan agama seolah agama hanya syarat keberdaan dalam KTP, Agama hanya teks yang menunjukan eksitensi kita sebagai orang yang beragama, agama gamang dan mati dalam konteks permasalahan-permaslahan moralitas karena keberadaannya tak lebih sebagai alat politik atau alat-alat kepentingan yang lain pada saat ini. Existensi agama juga di senggol pada kutipan di bawah ini.

“(TE membuka selubung kepalanya. Di atas kepalanya terpasang beha plastik bening serupa topi. TE membuka behanya.Sekerompol kondom bekas mencurah dari dalam beha)

aku pelacur. tapi aku kolektor  juga. sedekahku, kondom kondom bekas untuk penduduk yang tergusur.  agama masih sayang sama aku.

(TE memungut kondomnya).

artefak artefak satwa.
untuk pembungkus ketupat, atau hiasan pohon natal. untuk oleh oleh hari nyepi juga bisa.”

Dari teks di atas saya mencoba memeras diksi-diksi menjadi dua kata yakni “Kondom” dan “Agama”. Seolah keberadaan agama tidak bisa mengalahkan keberadaan kondom atau mungkin keduanya mempunyai tempat yang sama-sama penting dalam masyarakat.

(Cahaya lilin dikipas. Mati. Irama Blues merambat.Sepi. Cahaya Biru. )

dulu ayah bilang, setiap anak lelaki punya empat tetek. dua di kepala, dua lagi di lambungnya. kalau kau mulai kawin, istrimu akan menyedot  perlahan dua tetek di kepalamu, untuk dipindahkan ke dadanya. ritme penyedotan itu senada dengan irama penyerahan slip gajimu setiap bulannya. kesuburan tetek istrimu mencerminkan naik turunnya penghasilanmu.

Teks di atas sepertinya mengisyaratkan bagian yang penting dalam naskah monolog ini, karena kemunculannya ditandai dengan bergantinya suasana. Suasana awal yang di rasuki musik blus dan efek cahaya lilin mulai menghilang. Diksi kepala dan slip gaji, merupakan diksi inti. Akhirnya kita sedikit mengetahui kemanakah arah pembicaraan tentang beha dan payudara ini. Keberadaan laki-laki yang ternyata memiliki payudara di kepala disambungkan dengan keberadaan slip gaji yang disedot istrinya. Hal ini memperlihatkan kehidupan keluarga yang memang tidak akan jauh dari kondisi keberadaan uang,

Kemudian diakhir adegan satu, seolah tokoh “Te” kembali memperolok agama dibalik optimistiknya tentang tuhan tersembunyi pesimistiknya tentang tuhan pula

(TE menyentuh Kitab)

agama, kamu belum makan malam ? nggak doyan daging wanita ? ini masalahku, selalu gagal menebak jenis kelamin agama. tapi aku percaya, tuhan itu satu. supaya gampang membunuhnya.

(TE menghidupkan lagu ‘Possesif’ dari NAIF)


Dari jalinan teks pada babak satu ini diksi agama merupakan diksi yang paling banyak disebut. Hal ini membuktikan bahwa pada babak satu, naskah mencoba berbicara tentang agama yang gagal meluruskan kehidupan orang-orang urban yang matrealistik. babak dua Arkeologi Beha: Ayah dan Ibu


Klik untuk Berlangganan Tulisan

Masukan Email Anda:

0 komentar :

Post a Comment