Monday 17 April 2017

Catatan Hatedu Pawon Carklacer

Bagi saya hatedu itu hanyalah sebuah nama dan sebuah formalitas untuk bersama-sama berpentas. Teater dalam perjalanannya mulai digantikan oleh media elektronik namun teater dengan segala tetek bengeknya masih menawarkan artistik dan daya pengucapan yang tidak bisa digantikan dengan layar smartphone: Keintiman, kejujuran, dan kemurnian.

Pertanyaan berikutnya yang perlu dijawab adalah seberapa pentingkah teater untuk sebuah peradapan? Di masa lalu teater dianggap sebagai sesuatu yang diperlukan untuk merefleksikan kehidupan, ritual, dan simbol sebuah peradapan. Namun hari ini? Apakah teater masih bisa menjadi barometer itu semua atau perannya sudah habis? Dan digantikan dengan bentuk yang lain. Apakah yang terjadi jika masyarakat kehilangan teater?

Masih banyak sederet pertanyaan existensial mengenai teater yang harus kita jawab bersama untuk selanjutnya kita putus kan akan kita hidupkan atau bunuh bersama-samakah teater?

Dalam momen Hatedu ini, Pawon Cerklacer yang bekerjasama dengan berbagai komunitas mencoba menjawabnya dengan mengumpulkan berbagai pertunjukan untuk kita renungkan bersama layakah teater tumbuh di antara peradaban kita hari ini? Atau mari bersama-sama kita akhiri peradaban teater kita.

Nayla dan Imajinasi Yang Runtuh

Sex, wanita, tubuh, dan imajinasi mungkin serangkaian laku teater dalam kamar laki-laki.

Panggung yang dibiarkan remang dengan sorotan layar monitor menerpa wajah aktor dengan samar-samar kemudian muncul lagu seriosa yang menambah suasana gotik dalam gedung PKM membuka pementasan malam itu. Ada layar LCD proyektor yang terlihat membuka folder dan dilanjutkan membuka microsoft word. Dari sini saya merasakan kedekatan yang monumental dalam atmosfir yang tersusun pada malam itu.

Aktor melanjutkan perjalanan cerita malam itu dengan mengetik dalam gelap yang remang. Seluruh pertunjukan dirajut dengan suara ketikan cerpen Jenar Maesa Ayu yang berjudul "Menyusu Ayah" yang menceritakan kisah seorang anak yang sedari kecil menyusu kemaluan ayahnya yang akhirnya berakhir pada kehamilannya lalu diakhiri kemunculan aktor yang menegaskan bahwa dirinya adalah Nayla, kemunculannya yang meruntuhkan segala bangunan yang disusun dari puing-puing dramaturgi (realis) yang ia kacaukan sendiri. Kemunculan yang akhirnya meruntuhkan dramaturginya sendiri.

Imajinasi kita sebagai penonton yang membaca terbangun bersama alunan lagu seriosa yang dijejalkan ke dalam telinga kita. Sebuah pertunjukan yang berbasis gagasan. Mengedepankan idealisme untuk menyampaikan gagasan dengan konsep pemanggungan untuk memperkuat gagasannya.

Keberadaan wanita dengan segala imajinasi liar mengenai tubuh dan keber-ada-annya dalam sudut pandang pemuas hasrat terbangun dalam imajinasi saya sebagai penonton. Cerita itu merajut visual dirinya dalam kepala saya dengan alunan musik seriosa. Namun sungguh sangat disayangkan kemunculan aktor diakhir yang tidak memiliki kekuatan apa-apa dan kesannya menjadi tempelan dan formalitas belaka.

Badogan:Perut Mengalahkan Kepala

Badogan adalah bahasa Jawa yang paling kasar yang menggantikan diksi mangan, nedho, madang (baca:makan) dll.

Badogan sebuah pertunjukan nirdialog yang disuguhkan dengan gagasan yang gurih oleh STJ (studiklub teater jember). Gagasan yang akan terus tumbuh dan berganti kulit. Saya jadi ingat salah satu potongan puisi Rendra yang berjudul "Sajak Orang Lapar" bunyinya seperti ini

" Allah !
burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin
Kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan
Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran"

Antara puisi Rendra yang berjudul "Sajak Orang Lapar" dan pertunjukan STJ mewakili semangat yang sama. Kelaparan mampu mengalahkan logika, etika, moral, apalagi kebudayaan. Kelaparan mampu berevolusi menjadi kerakusan, kediktatoran, lalu menegaskan keberadaan manusia yang sama dengan hewan.

Pertunjukan yang 75%isinya adalah adegan makan (imajinatif maupun sebenarnya) dan saling memakan, mengisi relung-relung sudut panggung dengan gruping-gruping yang tersusun rapi dan renyah. Ada dua aktor di sisi kanan dan kiri yang terlihat membangun dimensi yang berbeda dengan pertunjukan yang ada ditengahnya. Seolah aktor yang ada di kanan adalah pencatat dengan aksi yang terus mengetik dengan mesin tik dan aktor di kiri (yang diperankan pak ajiz, sutradara) adalah pembaca yang terus membaca koran. Seolah peristiwa kelaparan yang terjadi di tengah adalah rangkaian huruf yang membentuk sejarah manusia dan akan terus berubah narasi namun memiliki saripati yang sama.

Anak Angsa Yang Ingin Mencapai Bulan


Sebentar, kenapa saya menulis judul yang seperti ini? Entahlah, saya akan mencoba mengupas pertunjukan Teater Angsa dari SMK 5 Jember meskipun saya tidak konsen dalam melihatnya karena saya dalam kondisi deg-degan sebab setelah ini saya juga pentas. (Paragraph gak penting)

Hmm... Tubuh se imut mereka sedang mengartikulasikan tragedi hilangnya para aktipis. Ini adalah seauatu yang sah dan merupakan bentuk menolak lupa terhadap sejarah kelam bangsa ini. Seandainya semua anak SMA seperti itu, borok penguasa negeri akan terus melekat dalam ingatan kolektif kita dan menegaskan pemerintah itu bukan ayah kita sepenuhnya tapi mereka juga musuh kita yang patut kita curigai.

Meskipun secara pertunjukan mereka mengusung konsep nonrealis namun dalam akting mereka masih mencoba menjadi orang lain dan di sinilah mereka perlu belajar menubuhkan tokoh atau memanggungkan tubuh

Tubuh-tubuh yang dijejali tema yang jauh dari sejarah tubuh mereka terlihat cukup jelas. Sehingga keragu-raguan tubuh terlihat cukup miris. Rajutan tubuh yang ragu-ragu menemani atmosfir pada malam itu. Saya merasa ada jarak yang cukup jauh antara tubuh, adegan, dan diksi-diksi yang mereka sampaikan mungkin observasi yang mereka melakukan adalah observasi alakadarnya ( hanya dari lagu efek rumah kaca). Padahal tema-tema semacam ini adalah tema yang sensitive dan memerlukan observasi mendalam agar tubuh aktor-aktornya mampu menangkap spirit temanya sehingga tubuhnya tidak hanya bergerak namun juga menyemburkan aura tema yang mereka angkat. Akhirnya adegan-adegan yang seharusnya kuat menjadi hambar.

Kurma Dan Hal-hal Yang Tak Tersampaikan

Saya harus gimana ya memulainya? Soalnya saya yang menyutradarainya sekaligus menjadi aktor, masak iya, saya juga mencoba mengkritik pementasan saya sendiri. Biarlah ini menjadi catatan pribadi saya sebagai penggarap.


Konsep saya adalah mengaburkan dinding ke empat yang memisahkan antara penonton dan alam panggung. Sebenarnya tujuan saya adalah konsep pemanggungan Brecht yang mampu merangsang daya kritis penonton dengan menyadarkan mereka bahwa ini hanyalah pertunjukan. Tapi entahlah, bentuk pertunjukan yang mirip dengan konsep pertunjukan tradisi ini menawarkan komedi sebagai pembalut gagasan-gagasannya. Jangan-jangan penonton tidak melihat pertunjukan sebagai sesuatu yang perlu dikritisi namun melihat pertunjukan sebagai sesuatu yang harus ditertawai. Mengingat tradisi menonton kita cenderung menertawakan mungkin kita bangsa yang suka menertawakan orang lain, seperti tradisi-tradisi teater yang diadopsi televisi, mereka membuat teater harus ditertawakan.

Jangan-jangan bentuk alienasi pertunjukan ini justru membuat mereka lupa dengan kehidupan mereka karena humor yang disampaikan justru membuat orang lupa terhadap esensi yang ada di dalamnya. Itulah kelemahan bentuk pemanggungan ini. Humor di dalam tradisi kita selalu dipandang sebagai obat lupa, obat lupa terhadap segala carut-marutnya kehidupan kita.

Teror Botol yang Hoax


Sebelumnya saya tegaskan, saya hanya melihat gladinya saja. Pementasan dari teater gelanggang ini menawarkan akting yang menjadi diri sendiri yang sibuk dan bermain-main seperti mereka setiap harinya.

Saya pernah menonton pementasan Teater Gelanggang beberapa tahun yang lalu bersama UKM Kesenian UNEJ dan saya rasa pementasan mereka yang kemaren, "Anatomi Botol" merupakan bentuk pembuktian mereka bahwa mereka sudah berkembang dan mulai menemukan bentuk mereka.

Banyak sekali suara botol jatuh, suara botol digesek-gesek. Botol secara audio meneror penonton. Banyak botol dilempar-lempar, botol digantung-gantung bahkan beberapa kepala mereka diganti dengan galon. Teror botol secara audio maupun visual mengepung gedung pertunjukan malam itu, menjadikan gedung banjir botol.

Menegaskan bahwa kita masyarakat urban tidak bisa jauh dari barang-barang plastik atau botol plastik. Namun yang menarik adalah seolah-olah botol di sini memiliki makna ganda, selain botol secara sebenarnya, sutradara ingin mengarahkan botol sebagai simbol media. Botol yang ditiup hoax, botol yang dijadikan alat komunikasi, presenter yang menarik penonton untuk di interogasi pertanyaan hoax dan melahirkan jawaban-jawaban hoax secara sepontan namun terstruktur.

Pertunjukan ini sebagian besar dirajut dari jalinan laku performance art. Di dalam perfotmance art tidak ada akting, dan tipuan., semua dilakukan dengan jujur dan apa adanya.

Namun yang menarik adalah explorasi kawan-kawan gelanggang yang tetap tidak meninggalkan siapa mereka? Dalam artian explorasi yang mereka lakukan adalah guyonan mereka setiap hari jadi bagi yang mengenal mereka, yang mereka lakukan adalah main-main dan celoteh mereka sehari-hari. Mereka hanya mentransfernya ke dalam bentuk pemanggungan. Bahkan sebelum masuk mereka sempat bermain-main di luar panggung, main-main yang meneror penonton dengan kebisingan suara botol digesek dan celotehan-celotehan mereka.

Namun bagi saya ada sebuah kesayangan yang berupa inkonsistensi dalam pertunjukan itu. Mungkin mereka ingin memberikan aksen tertentu atau apa? namun saya merasa ada sebuah adegan yang kurang pas (di hati saya), yakni: ketika masuk gerakan butoh dalam tubuh aktor berkepala galon, mereka akhirnya mencoba keluar dari dimensi awal yang mereka bangun yakni dimensi kejujuran dan kepolosan mereka dari rangkaian akting performance art. Di awal mereka menawarkan tubuh yang polos dan tanpa tendesi untuk "menjadi" namun diruntuhkan oleh tubuh butoh mereka sendiri.

Hartedu Itu Cuma Alibi

Entahlah. Bagi saya pribadi Hatedu hanyalah sebuah alibi untuk bersama-sama pentas. Tidak ada cita-cita yang muluk-muluk bagi saya meskipun sebenarnya ada rangkaian acara yang tidak terlaksana namun bagi saya bisa pentas dan melihat bagaimana kelompok lain juga memiliki semangat yang sama, sudah cukup.


Sebuah pertanyaan penting yang harus dijawab oleh para pelaku teater malam itu adalah “Kapan Pentas Lagi?”
Klik untuk Berlangganan Tulisan

Masukan Email Anda:

0 komentar :

Post a Comment