Bertamu
Malam minggu itu cukup kelabu bagi saya karena saya tidak
memiliki jadwal yang menyenangkan. Hal itu berubah, tatkala melihat berbagai
poster yang terpampang menjadi DP kawan-kawan saya di BBM. Poster itu adalah
poster acara Nang Ning Nung Puisi, sebuah acara yang bertajuk musikalisasi
puisi, diadakan oleh komunitas Rimbun Melingkar yang bekerjasama dengan
berbagai komunitas. Poster-poster itu akhirnya membangkitkan napsu saya untuk
mendatanginya, sekedar mengisi waktu luang di malam minggu, tidak ada alasan
lain, apalagi hanya untuk melihat dedek-dedek
mahasiwa yang ciamik, kalaupun ada, ya
itu merupakan rejeki anak soleh.
foto air terjun panduman |
Saya mendapat kabar bahwa acara itu berada di desa Panduman
di padepokan Sukma Elang. Saya sempat salah tafsir mengenai nama ini, awalnya
saya membaca huruf “e” dalam kata “elang” adalah burung elang yang biasa
dijumpai dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia namun penduduk sekitar
membaca huruf “e” ini seperti membaca huruf “e” pada kata “nenek” akhirnya
jadilah dia “elang” dalam bahasa Madura adalah “hilang” jadi saya
interpretasikan bahwa “Sukma Elang” berarti jiwa yang hilang meskipun
interpretasi ini salah lagi, ternyata “sukma” dalam bahasa Madura setempat
adalah parit.
Singkat cerita, berangkatlah saya ke sana dengan seseorang, sayangnya dia laki-laki. Kami Tanya
kesana kemari mengenai TKP. Akhirnya sampailah kami di desa Panduman, di
sinilah cerita dimulai. Di desa panduman kami bertanya mengenai lokasi
padepokan Sukma Elang, hampir semua makhluk hidup yang kami tanyai selalu
mengatakan jalan ke sana sangat susah kemudian mereka melihat MX merah petarung
saya lalu mengatakan “lebih baik kembali saja kisana apalagi sudah malam, jalanan susah dan jaraknya jauh”.
Di sinilah mental dan tekad saya diuji, sepertinya jalan
untuk sampai ke sana sangatlah susah namun saya tetap ngeyel untuk berangkat. Ternyata benar, jalan menuju tempat itu
sangat susah, di awal-awal, masih lancar jaya namun sekitar 10 KM mau sampai di
TKP di sinilah tekad kita diuji. Jalanan yang bertekstur batu lancip yang biasa
digunakan untuk mengaspal jalan namun dalam kasus ini jalannya tidak diaspal,
hanya batu-batu lancip nan licin yang menutupi tanahnya, ditambah lagi kondisi
jalan yang menanjak, di samping kiri saya jurang yang cukup aduhai, kondisi
yang gelap menambah suasana mencekam, dan kondisi yang sangat sepi membuat saya
tambah keki. Terbayangkan? bagaimana
sebalnya saya kala itu? Bahkan kawan saya sering saya suruh turun karena sepeda
saya tidak kuat di beberapa tanjakan tinggi dan medan yang membuat saya tidak
yakin dengan skill bersepeda saya.
Lebih Dekat Dengan Langit
Dengan tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran Allah dan
mengikuti sinar terang diujung bukit, sampailah saya di sebuah tempat yang
menjadi altar ritual pada malam itu. Awal saya sampai, saya langsung berpikir “sukma
saya benar-benar hilang karena sudah tersesat ke tempat yang belum pernah
terpikirkan bagi saya”. Banyak sekali
para Jemaah Nang Ning Nung Puisi yang duduk hikmat menyaksikan para penampil.
Penampilan kawan-kawan Imasind |
Sayangnya, saya sedikit terlambat dan hanya melihat
penampilan beberapa grup saja di antaranya adalah penampilan Tamasya sebuah
band independen Jember yang banyak mengkritisi persoalan alam. Penampilan yang
sangat menarik dari mereka ketika mereka ingin menyanyikan sebuah lagu, mereka
mengatakan bahwa eksploitasi alam bukan hanya sekedar mengeruk kekayaan alam
saja namun masih banyak bentuk lain dari eksplotasi alam. Salah satunya dengan
mengambil gambar alam lalu menyebarkannya dan tidak melakukan apa-apa yang
bermanfaat bagi alam. Ini juga merupakan bentuk pemerkosaan terhadap alam. Dalam
keadaan yang sangat cair dan lantunan music folk, ditemani dengan udara dingin
khas gunung, dan kerlap-kerlip lampu kota yang terlihat dari atas, benar-benar
menambah kekhusukan suasana pada saat itu.
Penampil yang lain adalah IKL dari kalisat (saya lupa apa
singkatan dari IKL). Mereka hanya datang
bertiga, sebenarnya masih ada personel yang lain namun di tengah jalan sisa
personel yang lain memutuskan untuk turun karena tidak kuat dengan kondisi
jalan yang ada. Inilah yang membuat tempat ini begitu unik, kondisi jalan yang
menyebabkan putus asa, jadi orang-orang yang datang di tempat ini adalah
orang-orang bertekad baja dan keras kepala. Yang saya salutkan dari grup ini
meskipun porsonel mereka tidak lengkap mereka masih mau tampil sebenarnya bisa
saja grup ini membatalkan penampilan mereka. Tiga orang ini benar-benar orang
yang ulet dan bertanggung jawab.
Ada pula penampilan kawan dari Bogor yang berasal dari
komunitas Rumah Sebro. Kawan kita dari Bogor ini datang berdua namun yang
tampil satu orang dibantu oleh mas Ghuiral (musisi kontemporer Jember) yang
saya kagum dari Ikhsan, penampil dari Bogor ini adalah keberaniannya
menampilkan mantra Jawa dengan logat Sundanya yang sangat kental. Hal ini
menimbulkan rasa-rasa yang cukup aneh, ganjil, tapi tidak buruk. Dia menjadi
sebuah dimensi mantra yang lain yang mengantarkan pada dimensi-dimensi
spiritual yang sulit didefinisikan. Ikhsan dan Ghuiral menampilkan beberapa
musikalisasi puisi yang sangat apik, dengan alat saxofon yang dipegang oleh
Ikhsan dan gitar yang dipetik oleh Ghuiral menambah perasaan-perasaan yang
susah didefinisikan.
Ada pula beberapa penampilan lain yang tidak kalah hebatnya
diantaranya adalah Imasind, Malam Puisi, beberapa kawan dari UKM, dll. Pada
malam itu menjadi malam mereka untuk saling menyapa dengan puisi yang dibalut
dengan bunyi-bunyian.
Puisi Adalah Roh
Salah satu hal menarik yang terjadi di malam itu adalah
diskusi mengenai musikalisasi puisi. Diskusi ini dimoderatori oleh Kholid Rafsanjani, dia adalah tukang kebun Siksa Kampus,
pembicaranya adalah Ghuiral sang musisi experimental Jember, dan Halim Bahris
yang seorang penyair muda dan berbahaya dari kota pisang Lumajang.
Kiri Ghuiral, Tengah Kholid, Kanan Halim |
Diskusi itu berjalan dengan cukup menarik bagi saya,
percakapan mengenai struktur puisi,
puisi sebagai sebuah semangat, sampai pada puisi dalam pendidikan. Dalam
diskusi yang membicarakan musikalisasi puisi, saya menemukan sesuatu yang baru,
bahwa sebuah genre atau nama sebuah bentuk tidak hanya dilihat dari fisiknya,
dalam hal ini struktur dan unsur pembentuknya namun sebuah penamaan bentuk bisa
dilihat dari proses kelahirannya.
Hal inilah yang terjadi pada musikalisasi puisi yang kami
sepakati malam itu bahwa musikalisasi puisi bukan sekedar puisi yang diberi musik
atau dilagukan tapi musikalisasi puisi adalah semangat mencipta musik yang dilatar
belakangi oleh puisi.
Dalam pembicaraan malam itu puisi bukan hanya menjadi bentuk
huruf yang disusun berbait, atau sederet kata-kata yang menciptakan gaya bahasa
tertentu untuk menyampaikan maksudnya tapi puisi lebih dari itu. Puisi menjadi
semacam semangat dalam mencipta sebuah karya. Puisi tidak hanya ditemukan di
dalam bahasa namun puisi bisa muncul dalam desain, film, musik, bahkan puisi
bisa ditemukan pada arsitektur bangunan.
Semangat puisi yang saya tangkap pada malam itu adalah
semangat mencipta yang berani keluar pada arus utama budaya populer. Semangat
puisi menjadi semangat pencarian dimensi-dimensi artistik yang baru yang
didasari pada kegelisahan-kegelisahan yang tak berujung. Puisi bukan hanya
menjadi ajang akrobat kata, dimana kita menumpuk satu kata dengan kata yang
lain dan akhirnya kertas hanya menjadi arena sirkus kata-kata.
Namun yang menjadi masalah bagi saya pada malam itu, puisi
terlalu dinilai subjektif dan terlampau abstrak. Hal ini saya maklumi karena
seorang seniman biasanya menolak membaca sesuatu secara objektif dengan membongkar
bagian-bagian yang merekatkannya namun kita sebagai orang awam biasanya lebih
memahami belajar sesuatu dari yang kongkret kemudian menuju sesuatu yang lebih
abstrak.
Secara kesatuan yang utuh, malam itu menjadi malam yang
harmoni, disaksikan oleh bintang-bintang yang sedikit dekat dengan kami dan kabut
yang menjadi selimut dalam tidur kami meskipun paginya saya harus kembali turun
gunung untuk melaksanakan tugas. Semoga acara semacam ini bisa dilangsungkan
lagi dan tidak menjadi kembang api yang meledak, meninggalkan aroma karbit, dan
akhirnya tertiup angin.
Klik untuk Berlangganan Tulisan
0 komentar :
Post a Comment