Thursday, 13 October 2016

Nang Ning Nung dan Jiwa Puisi yang Mengambang

Bertamu

Malam minggu itu cukup kelabu bagi saya karena saya tidak memiliki jadwal yang menyenangkan. Hal itu berubah, tatkala melihat berbagai poster yang terpampang menjadi DP kawan-kawan saya di BBM. Poster itu adalah poster acara Nang Ning Nung Puisi, sebuah acara yang bertajuk musikalisasi puisi, diadakan oleh komunitas Rimbun Melingkar yang bekerjasama dengan berbagai komunitas. Poster-poster itu akhirnya membangkitkan napsu saya untuk mendatanginya, sekedar mengisi waktu luang di malam minggu, tidak ada alasan lain, apalagi hanya untuk melihat dedek-dedek mahasiwa yang ciamik, kalaupun ada, ya itu merupakan rejeki anak soleh.
nang ning nung puisi
foto air terjun panduman


Saya mendapat kabar bahwa acara itu berada di desa Panduman di padepokan Sukma Elang. Saya sempat salah tafsir mengenai nama ini, awalnya saya membaca huruf “e” dalam kata “elang” adalah burung elang yang biasa dijumpai dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia namun penduduk sekitar membaca huruf “e” ini seperti membaca huruf “e” pada kata “nenek” akhirnya jadilah dia “elang” dalam bahasa Madura adalah “hilang” jadi saya interpretasikan bahwa “Sukma Elang” berarti jiwa yang hilang meskipun interpretasi ini salah lagi, ternyata “sukma” dalam bahasa Madura setempat adalah parit.

Singkat cerita, berangkatlah saya ke sana dengan seseorang, sayangnya dia laki-laki. Kami Tanya kesana kemari mengenai TKP. Akhirnya sampailah kami di desa Panduman, di sinilah cerita dimulai. Di desa panduman kami bertanya mengenai lokasi padepokan Sukma Elang, hampir semua makhluk hidup yang kami tanyai selalu mengatakan jalan ke sana sangat susah kemudian mereka melihat MX merah petarung saya lalu mengatakan “lebih baik kembali saja kisana apalagi sudah malam, jalanan susah dan jaraknya jauh”.

Di sinilah mental dan tekad saya diuji, sepertinya jalan untuk sampai ke sana sangatlah susah namun saya tetap ngeyel untuk berangkat. Ternyata benar, jalan menuju tempat itu sangat susah, di awal-awal, masih lancar jaya namun sekitar 10 KM mau sampai di TKP di sinilah tekad kita diuji. Jalanan yang bertekstur batu lancip yang biasa digunakan untuk mengaspal jalan namun dalam kasus ini jalannya tidak diaspal, hanya batu-batu lancip nan licin yang menutupi tanahnya, ditambah lagi kondisi jalan yang menanjak, di samping kiri saya jurang yang cukup aduhai, kondisi yang gelap menambah suasana mencekam, dan kondisi yang sangat sepi membuat saya tambah keki. Terbayangkan? bagaimana sebalnya saya kala itu? Bahkan kawan saya sering saya suruh turun karena sepeda saya tidak kuat di beberapa tanjakan tinggi dan medan yang membuat saya tidak yakin dengan skill bersepeda saya. 

Lebih Dekat Dengan Langit

Dengan tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran Allah dan mengikuti sinar terang diujung bukit, sampailah saya di sebuah tempat yang menjadi altar ritual pada malam itu. Awal saya sampai, saya langsung berpikir “sukma saya benar-benar hilang karena sudah tersesat ke tempat yang belum pernah terpikirkan bagi saya”.  Banyak sekali para Jemaah Nang Ning Nung Puisi yang duduk hikmat menyaksikan para penampil.
Penampilan kawan-kawan Imasind

Sayangnya, saya sedikit terlambat dan hanya melihat penampilan beberapa grup saja di antaranya adalah penampilan Tamasya sebuah band independen Jember yang banyak mengkritisi persoalan alam. Penampilan yang sangat menarik dari mereka ketika mereka ingin menyanyikan sebuah lagu, mereka mengatakan bahwa eksploitasi alam bukan hanya sekedar mengeruk kekayaan alam saja namun masih banyak bentuk lain dari eksplotasi alam. Salah satunya dengan mengambil gambar alam lalu menyebarkannya dan tidak melakukan apa-apa yang bermanfaat bagi alam. Ini juga merupakan bentuk pemerkosaan terhadap alam. Dalam keadaan yang sangat cair dan lantunan music folk, ditemani dengan udara dingin khas gunung, dan kerlap-kerlip lampu kota yang terlihat dari atas, benar-benar menambah kekhusukan suasana pada saat itu.

Penampil yang lain adalah IKL dari kalisat (saya lupa apa singkatan dari IKL).  Mereka hanya datang bertiga, sebenarnya masih ada personel yang lain namun di tengah jalan sisa personel yang lain memutuskan untuk turun karena tidak kuat dengan kondisi jalan yang ada. Inilah yang membuat tempat ini begitu unik, kondisi jalan yang menyebabkan putus asa, jadi orang-orang yang datang di tempat ini adalah orang-orang bertekad baja dan keras kepala. Yang saya salutkan dari grup ini meskipun porsonel mereka tidak lengkap mereka masih mau tampil sebenarnya bisa saja grup ini membatalkan penampilan mereka. Tiga orang ini benar-benar orang yang ulet dan bertanggung jawab.

Ada pula penampilan kawan dari Bogor yang berasal dari komunitas Rumah Sebro. Kawan kita dari Bogor ini datang berdua namun yang tampil satu orang dibantu oleh mas Ghuiral (musisi kontemporer Jember) yang saya kagum dari Ikhsan, penampil dari Bogor ini adalah keberaniannya menampilkan mantra Jawa dengan logat Sundanya yang sangat kental. Hal ini menimbulkan rasa-rasa yang cukup aneh, ganjil, tapi tidak buruk. Dia menjadi sebuah dimensi mantra yang lain yang mengantarkan pada dimensi-dimensi spiritual yang sulit didefinisikan. Ikhsan dan Ghuiral menampilkan beberapa musikalisasi puisi yang sangat apik, dengan alat saxofon yang dipegang oleh Ikhsan dan gitar yang dipetik oleh Ghuiral menambah perasaan-perasaan yang susah didefinisikan.

Ada pula beberapa penampilan lain yang tidak kalah hebatnya diantaranya adalah Imasind, Malam Puisi, beberapa kawan dari UKM, dll. Pada malam itu menjadi malam mereka untuk saling menyapa dengan puisi yang dibalut dengan bunyi-bunyian.

Puisi Adalah Roh

Salah satu hal menarik yang terjadi di malam itu adalah diskusi mengenai musikalisasi puisi. Diskusi ini dimoderatori oleh Kholid Rafsanjani,  dia adalah tukang kebun Siksa Kampus, pembicaranya adalah Ghuiral sang musisi experimental Jember, dan Halim Bahris yang seorang penyair muda dan berbahaya dari kota pisang Lumajang.
Kiri Ghuiral, Tengah Kholid, Kanan Halim

Diskusi itu berjalan dengan cukup menarik bagi saya, percakapan mengenai struktur  puisi, puisi sebagai sebuah semangat, sampai pada puisi dalam pendidikan. Dalam diskusi yang membicarakan musikalisasi puisi, saya menemukan sesuatu yang baru, bahwa sebuah genre atau nama sebuah bentuk tidak hanya dilihat dari fisiknya, dalam hal ini struktur dan unsur pembentuknya namun sebuah penamaan bentuk bisa dilihat dari proses kelahirannya.

Hal inilah yang terjadi pada musikalisasi puisi yang kami sepakati malam itu bahwa musikalisasi puisi bukan sekedar puisi yang diberi musik atau dilagukan tapi musikalisasi puisi adalah semangat mencipta musik yang dilatar belakangi oleh puisi.

Dalam pembicaraan malam itu puisi bukan hanya menjadi bentuk huruf yang disusun berbait, atau sederet kata-kata yang menciptakan gaya bahasa tertentu untuk menyampaikan maksudnya tapi puisi lebih dari itu. Puisi menjadi semacam semangat dalam mencipta sebuah karya. Puisi tidak hanya ditemukan di dalam bahasa namun puisi bisa muncul dalam desain, film, musik, bahkan puisi bisa ditemukan pada arsitektur bangunan.

Semangat puisi yang saya tangkap pada malam itu adalah semangat mencipta yang berani keluar pada arus utama budaya populer. Semangat puisi menjadi semangat pencarian dimensi-dimensi artistik yang baru yang didasari pada kegelisahan-kegelisahan yang tak berujung. Puisi bukan hanya menjadi ajang akrobat kata, dimana kita menumpuk satu kata dengan kata yang lain dan akhirnya kertas hanya menjadi arena  sirkus kata-kata.

Namun yang menjadi masalah bagi saya pada malam itu, puisi terlalu dinilai subjektif dan terlampau abstrak. Hal ini saya maklumi karena seorang seniman biasanya menolak membaca sesuatu secara objektif dengan membongkar bagian-bagian yang merekatkannya namun kita sebagai orang awam biasanya lebih memahami belajar sesuatu dari yang kongkret kemudian menuju sesuatu yang lebih abstrak.


Secara kesatuan yang utuh, malam itu menjadi malam yang harmoni, disaksikan oleh bintang-bintang yang sedikit dekat dengan kami dan kabut yang menjadi selimut dalam tidur kami meskipun paginya saya harus kembali turun gunung untuk melaksanakan tugas. Semoga acara semacam ini bisa dilangsungkan lagi dan tidak menjadi kembang api yang meledak, meninggalkan aroma karbit, dan akhirnya tertiup angin.
Klik untuk Berlangganan Tulisan

Masukan Email Anda:

0 komentar :

Post a Comment