Konsep
ini adalah milik August Boal, seorang dramawan asal Brazil yang mengatakan
bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak akan terlepas dari tindakan
politik, termasuk teater. Jika membaca tulisannya, pernyataannya ini mungkin
didasari dari kondisi politik negaranya yang bergejolak pada saat itu sehingga
dia menggunakan teaternya untuk menggerakan masyarakat pada usaha revolusi.
Dalam
bukunya "Teater Kaum Tertindas" Boal sering menyatakan "Barangkali
teater tidaklah revolusioner dalam dirinya sendiri; tetapi tidak usah ragu, ia
adalah latihan revolusi!" hal ini merupakan konsep dasar berpikir teater
Boal. Bagi dia teater bukan untuk katarsis seperti teater Aristotelian maupun
menumbuhkan pemikiran kritis saja seperti konsep Brectian namun teater harus
bisa menciptakan revolusi pada penontonnya.
Teater
kaum borjuis adalah teater yang mendikte masyarakat dengan segala peralatannya,
khususnya aktor. Di dalam Teater Kaum Tertindas, aktor tidak memiliki kuasa
apa-apa untuk mendikte penonton mengenai nilai-nilai namun penontonlah yang
menentukan nila-nilai tersebut untuk kemudian dimasukan ke dalam panggung.
Penonton tidak hanya dijadikan objek mati dalam pertunjukan namun penonton
berperan sentral dalam pertunjukan karena dialah subjek pertunjukan sedangkan
aktor nyaris dijadikan objek total oleh penonton.
Teater
jenis ini adalah metode supaya penonton melakukan tindakan atau aksi yang nyata
karena penonton tidak hanya dijadikan objek pasif tapi mereka juga turut
menentukan jalan cerita, mengatur aktor, bahkan mereka bisa saja bermain di
dalamnya (Spek-aktor).
Penontonlah
yang paling mengetahui apa yang mereka inginkan dalam sebuah permasalahan. Apalagi
itu permasalahan yang menyangkut dirinya. Hal ini pernah diceritakan di sebuah
wawancara bahwa dia pernah melakukan pentas untuk komunitas petani di daerah
timur laut Brazil, pemain utama angkat pedang dan berkata “Kita tumpahkan darah
demi tanah kita” mereka bernyanyi, menari, berakting, dan berpakaian seperti
petani, mereka Nampak seperti petani tapi sesungguhnya bukan. Dan mereka
berteriak “Kalian harus tumpahkan darah! Darah kita untuk selamatkan tanah
kita!” lalu seorang di antara petani (sungguhan) yang menonton berkata “Kalian
berpikir seperti kami dan kalian punya pedang bagus di panggung. Kenapa tak
bawa pedang kalian dan bersama kami melawan tuan tanah yang merampas tanah
kami? Mari tumpahkan darah kita. Boal dan kelompoknya menjawab “Maaf, tapi ini
bukan pedang sungguhan. Ini hanya pedang untuk perlengkapan panggung” petani
itu berkata lagi “oke itu pedang palsu, tapi kalian punya kebaikan, itu senjata
abadi. Mari berjuang bersama kami.” Boal kembali menjawab “Tidak. Kami adalah
seniman, bukan petani sebenarnya” petani itu berkata lagi “saat seniman berkata
‘tumpahkan darah kita’ kalian bicara tentang darah sebenarnya dari kami, petani
sebenarnya. Bukan darah kalian”. Akhirnya Boal menyadari bahwa kita tak bisa
menyampaikan pesan pada perempuan sebab kita lelaki, pada kulit hitam sebab
kita kulit putih, pada petani sebab kita orang kota. Tapi kita bisa bantu
menemukan cara berjuang mereka sendiri
Dari
hal tersebut dia sadar bahwa penonton sendirilah yang mengetahui jalan keluar
manakah yang pas untuk kondisi mereka dan nilai-nilai apasajakah yang bisa
mereka pegang. Teater konvensional bagi Boal terlalu memaksakan kehendaknya
mengenai sebuah pemikiran, karena setiap tempat memiliki kebudayaan dan adat
yang berbeda maka mereka juga memegang nilai-nilai yang berbeda.
Untuk
mencapai keadaan-keadaan yang revolusioner pada tubuh penonton, Boal
menggunakan beberapa metode. Sebenarnya metode-metode ini mirip dengan teater
game. Metode-metode yang digunakan Boal rata-rata mungkin sudah pernah kita
pelajari dalam latihan dasar teater kita sebelum memasuki naskah, hanya saja
diterapkan pada saat pertunjukan pada penonton.
0 komentar :
Post a Comment