Sunday, 1 February 2015

Karapan Laut: Sepenggal Identitas Madura

Saya menemukan buku ini ketika iseng pergi ke warung kopi Macapat (di daerah ruko sebelah Rindang), niat awal saya hanya ingin ngopi bersama seekor makhluk mirip manusia sebut saja Novan. Jodoh tidak akan kemana (bukan tentang saya dan Novan), saat ingin ngopi di Macapat secara tidak dinyana ternyata di sana sedang terjadi dialog kesusastraan atau bedah antologi cerpen. Dalam bedah antologi cerpen itu saya sebenarnya sedikit terganggu karena niat awal saya ngopi tapi saya mencoba menikmati malam itu dengan kumpulan orang tua yang sedang berbicara masalah cerpen. Secara iseng saya membaca Antologi cerpen karapan laut karya Mahwi Air Tawar, seorang penulis asal Madura yang sekarang menetap di Yogyakarta.
 Awal saya membacanya saya sudah bisa menebak isinya pasti tentang orang-orang Madura yang konyol dan lugu seperti seorang teman saya sebut saja namanya Khosim, karena dibelakang terdapat ulasan dari Agus R. Sarjono yang menerangkan bahwa orang Madura mempunyai streotip yang lucu, garang, lugu, bahkan galau tapi yang disajikan di buku ini adalah sisi Madura yang keras. Penyakit saya ketika sudah membaca fiksi adalah tidak bisa berhenti, oleh sebab itu saya mencoba menjauhi buku-buku fiksi, begitu pula ketika saya membaca antologi cerpen Karapan Laut ini, isinya benar-benar bagus menurut saya, tentang tragedi kehidupan orang-orang Madura dengan pola pemikiran, adat, kondisi perantauan dan kebudayaannya.
Pengarang mengemukakan bahwa antologi cerpen Karapan Laut merupakan cerpen yang menceritakan kehidupan sosial masyarakat Madura yang sering diidentikan dengan watak yang keras bahkan bar-bar, hal ini benar-benar terjadi bahkan orang tua saya tidak menyetujui hubungan percintaan saya dengan orang beretnis Madura (malah curhat). Pengarang mencoba menceritakan bahwa anggapan orang-orang merupakan hal yang benar, namun pengarang ingin mempertegas kebenarannya dengan memberikan alasan yang melatar belakanginya. Masyarakat Madura memang keras, namun watak yang keras bukan tanpa alasan. Pengarang beranggapan bahwa watak dan kehidupan orang-orang Madura yang keras dianggap sebagai pembawaan dari lahir tapi sebenarnya tidak demikian. Orang-orang Madura mempunyai alasan yang kuat mengapa mereka harus keras.
           Pada kurun waktu 1930 s/d tahun 2000 jumlah penduduk Madura menurun setelah sebelumnya menempati urutan ke 3 kemudian menjadi ke 4 setelah etnis Jawa, Sunda, dan Melayu. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Wiyata (dalam, 2013:2)

“Ada satu hal penting untuk dicermati kembali pada tabel di atas yang memperlihatkan dengan jelas pertumbuhan penduduk etnis Madura dalam kurun waktu 70 tahun (dari 1930 s/d 2000) ternyata sangat rendah, yaitu sebesar 0,65%. Sehingga secara nasional urutan etnis Madura mengalami penurunan dari urutan ketiga (setelah etnis Jawa dan Sunda) pada tahun 1930 menjadi urutan keempat (setelah Jawa, Sunda, dan Melayu)”


Pada kutipan di atas bisa kita simpulkan bahwa populasi masyarakat Madura cukup banyak di Indonesia namun dari angka yang banyak ini masih belum banyak penelitian ataupun karya sastra yang mengambil tema Madura. Hal senada juga diungkapkan De Jonge (dalam Wiyata, 2002:6) “Alasan lainya adalah anggapan bahwa kebudayaan Madura merupakan ‘ekor’ kebudayaan Jawa, sehingga perhatian terhadap masyarakat dan kebudayaan Madura relatif sedikit dibandingkan dengan perhatian terhadap masyarakat dan kebudayaan lain.” Hal ini juga merupakan sesuatu yang menarik dari antologi cerpen Karapan Laut, minimnya sastra fiksi yang mengambil tema Madura padahal masyarakat Madura menempati populasi yang tinggi di Indonesia.
Cerpen ini mencoba menggambarkan kehidupan masyarakat Madura. Salah satu ciri masyarakat Madura adalah dijunjung tingginya harga diri. Siapapun yang dianggap telah menodai harga diri orang Madura, maka akan dianggap sebagai musuh tidak terkecuali keluarga dekat mereka sendiri. Hal senada juga diungkapkan oleh Wiyata (2013:17) "Orang Madura akan merasa malo atau terhina jika harga dirinya dilecehkan oleh perbuatan orang lain.". Hal ini juga terdapat dalam antologi cerpen Karapan Laut dengan judul cerpen Tubuh Laut Kacong sungguh menginginkan hubungan suami istri mertuanya hancur lebur karena ayah mertuanya telah membuat ia merasa terhina” (KL, 2014:17). Kutipan di atas meyiratkan bahwa orang Madura sangat sensitif jika harga diri mereka dijatuhkan, sehingga mereka akan melakukan apa saja untuk membalas dendam terhadap orang yang dianggap menodai harga diri mereka.
            Gambaran sosial yang lain adalah tentang kebiasaan yang menjadi adat dan budaya masyarakat Madura, salah satunya adalah carok. Carok adalah usaha mempertahankan harga diri individu maupun kelompok masyarakat Madura seperti yang dijelaskan oleh Wiyata (2002:170) "Sebagaimana disinggung pada bagian lain dimuka, semua kasus carok yang diteliti, begitu puka kasus carok lain yang terjadi di Madura, selalu bersumber dari perasaan malo atau terhina pada diri si pelaku karena harga dirinya dilecehkan oleh orang lain”. Berikut ini merupakan kutipan tantangan carok dalam antologi cerpen Karapan Laut dalam cerpen Anak-anak Laut
“Rabbuh, yang duduk dikelilingi santri-santrinya berdebar ketika mendengar suara Durakap mengucapkan salam. Ia bergegas berdiri dan memberi isyarat kepada Durakkap untuk mengikutinya ke rumahnya yang terletak tak jauh dari surau. Ketika mereka telah berdua saja di ruang tamu, Durakkap mengeluarkan cluritnya dan meletakan senjata itu di meja. Rabbuh yang segera paham dengan maksud Durakkap, meletakan tasbihnya yang terbuat dari gigi ikan pari disamping celurit Durakkap”.
(KL, 2014:12)
Kutipan di atas merupakan adat atau kebiasaan masyarakat Madura untuk menantang carok orang lain, untuk mempertahankan harga dirinya. Carok merupakan usaha untuk menyelesaikan sebuah masalah dan mempertahankan harga diri dengan bertarung.
Terdapat masalah-masalah sosial yang terjadi antar tipe-tipe sosial. Dalam masyarakat, setiap individu mempunyai perannya sendiri-sendiri. Hal demikian yang disebut dengan tipe sosial. Perbedaan tipe sosial satu orang dengan orang lain terkadang menimbulkan gesekan atau masalah-masalah sosial, seperti pada kutipan antologi cerpen Karapan Laut dalam cerpen Janji Pasir “Durakkap beranjak, tetapi Markoya segera bersiasat memanggil seorang perempuan, dan kemudian tawanya pecah sehingga membuat seorang yang kebetulan lewat mengumpat:'senok!' " (KL, 2014:31). Umpatan “senok” menunjukan adanya gesekan antara tipe sosial yang terjadi dalam cerpen Janji Pasir.
Pengarang mencoba menggambarkan realitas-realitas sosial yang berakibat negatif pada kehidupan sosial sebagai kritik terhadap kehidupan masyarakat Madura. Salah satunya adalah carok yang dianggap sebagai upaya mempertahankan harga diri masyarakat Madura, namun disisi lain berakibat negatif pada kehidupan individu maupun sosial. Akibat negatif dari carok yang terdapat pada cerpen Anak-anak Laut, tampak pada kutipan data berikut.
“Ramuk dapat melihat jasad ayahnya. Seseorang berusaha menenangkan anak itu dengan memegangi lengannya tetapi Ramuk memberontak dan menghambur pada jasad ayahnya. Lalu, seraya menangis, berganti-ganti ia memandangi celurit yang tergeletak di dekat jasad ayahnya dan rabbuh yang masih bersimpuh. Sebentar kemudian Ramuk telah menyambar clurit dan mengayunkan senjata itu membabi buta ke arah guru mengajinya”.
(KL, 2014:15)
Cuplikan di atas merupakan kejadian setelah Durakkap dan Rabbuh selesai carok yang berakhir dengan kematian Durakkap, kemudian datanglah Ramuk yang merupakan anak kandung dari Durakkap. Melihat ayahnya yang mati di bunuh, Ramuk pun tidak tahan ingin membalas dendam walaupun yang membunuh gruru ngajinya sendiri. Melalui cerpen ini, pengarang ingin menegaskan bahwa carok terbukti hanya akan membawa dendam. Realitas sosial yang lain bisa dilihat pada kutipan cerpen berikut:

Sebenarnya, malam ini santap sedang menguji kekuatan Rattin. Ia sudah mempersiapkan semua kebutuhan Rattin sejak jauh-jauh hari. Bertahun-tahun ia memelihara Rattin dengan sepenuh hati dan jiwa raganya. Sepuluh telur kampung, jahe, dan madu adalah santapan wajib Rattin yang tak pernah terlambat diberikan. Santap juga tak pernah terlupa membacakan mantra-mantra pengasihan dari Durakkap, dan setiap malam jumat ia melulur Rattin dengan bedak kuning dan air kembang agar sapi sono’nya tetap wangi bila tiba saat kontes
(KL, 2014,75)
            Kutipan di atas adalah kutipan cerpen Sapi Sono’. Kutipan di atas menceritakan seorang  tokoh Santap yang ingin memenangkan kontes kecantikan sapi. Banyak hal-hal yang dilakukan santap agar sapinya menang, seperti memperhatikan makanan, membacakan mantra-mantra, dan meluluri Rattin dengan bedak kuning dan air kembang
            Menurut saya semua hal yang berkaitan dengan streotip masyarakat Madura yang dianggap negatif, juga ada di dalam masyarakat etnis yang lain, hanya saja mungkin orang Madura memiliki sensitifitas yang tinggi pada hal-hal tertentu, dan juga cara mengungkapkan diri yang blak-blakan dan cenderung expresif membuat mereka memiliki stigma tersendiri di mata masyarakat yang lain. Sebenarnya masih banyak sifat-sifat luhur masyarakat Madura seperti setia kawan, pantang menyerah, dll. Sekian tulisan saya ini semoga bermanfaat, jika tidak bermanfaat ya ambil saja manfaatnya.

Klik untuk Berlangganan Tulisan

Masukan Email Anda:

0 komentar :

Post a Comment