Friday, 20 February 2015

Arkeologi Beha: Ayah dan Ibu

Bagian 2

Pada babak pertama naskah arkeologi Beha sudah dijelaskan tentang kehidupan masyarakat urban, wanita, dan keluarga. Pada babak kedua naskah Arkeologi Beha ini menurut saya terdapat dua bagian. Bagian pertama adalah bagian ibu yang banyak berceramah perihal dapur dan perannya sebagai ibu. Bagian kedua adalah pada huruf yang dimiringkan sampai akhir yang sebagian besar menjelaskan tentang “Azuma”.

Dari interpretasi saya permasalahan sex tidak terlalu kental, kecuali dalam konteks tertentu namun permasalahan sex ini masih ada. Ketika membaca bagian dua naskah ini seolah saya ingat apa yang dikatakan oleh orang-orang didekat saya dulu mengenai wanita, bahwa wanita itu mempunyai 3 tugas dalam hidupnya macak (bersolek), masak (masak), manak (manak). Orang-orang yang berfikiran primitif masih menggunakan pemikiran itu dalam hidupnya. Seolah tugas wanita itu sangat rendah. Hal ini dapat kita lihat pada potongan dialog berikut
“Bawang, cabai, terasi, tauge. Garam ndak perlu. Cukup air ludah ibu. Mulut ibumu dapur tanpa pintu. Semua gigi diselomot jadi kayu bakar.”

Dialog di atas menurut saya cukup menjelaskan tentang bagaimana seorang wanita, bahwa dia adalah dapur, mulutnya dapur seluruh anggota mulutnya adalah dapur, mungkin dia hanya diperbolehkan membicarakan teks dapur. Wanita juga harus melayani seluruh keluarga, hal ini juga terdapat dalam potongan dialog berikut ini.
“Hidup perempuan itu kayak daging dendeng. Dikerat tipis tipis. Dibumbui dan dikeringkan di pelipis bapakmu.
Dicelupkan ke jelantah panas. Lalu disantap seluruh keluarga.”

Sang ibu sedang berusaha membicarakan nasib perempuan dalam sudut pandang jawa (mungkin) karena diksi-diksi yang digunakan adalah diksi-diksi jawa, seperti diksi-diksi peler, dandhang, ngesek, ngrompol, kutang, ghendar, tiwul, mriyayeni dll.
Ketidak setujuan tentang hal ini mungkin ditunjukan dengan sikap absurd dari tokoh ibu, sikap absurd ini berupa kesantaiannya menghadapi kematian, seolah kematian bukan merupakan hal yang menakutkan tapi hal yang biasa saja seperti seorang ibu yang akan pergi ke pasar. Hal ini bisa kita lihat di dua potongan dialog berikut ini
Te, aku ibumu.aku mati nanti malam. Aku siapkan dulu  sarapan pagimu. “
Kemudian
“Wis yo te, ibu tak mati dulu.”

Kemudian masuk dalam bagian yang diberi tanda miring atau “Azuma”. Saya berusaha mencari tahu apa itu “Azuma”? awalnya saya kira “Azuma “ merupakan hewan mitologi dari sebuah peradaban, namun saya tidak menemukan referensi apapun mengenai Azuma ini. Ada kemungkinan si penulis naskah memang mengarang sesuatu yang bernama “Azuma”ini.
Pada bagian terakhir ini bahasa yang ditampilkan mulai menjadi bahasa yang naratif, bahasa yang bercerita dan menjelaskan, seolah mengatakan bahwa bagian ini adalah kesimpulan secara umum. Kemudian sedikit terbuka pula makna dari beha pada naskah ini bahwa beha adalah sesuatu yang harus dibuka karena menutupi sesuati yang murni dan suci atau malah sebaliknya untuk membuka sesuatu yang menakutkan, seperti kutipan dialog di bawah ini.

“Selalu ada neraka dalam tubuh kata kata.
Aku tak sanggup menguburnya. Neraka selalu tumbuh. Kadang tampak seperti ibumu, ayahmu, atau aku. Sebuah beha adalah gerbang untuk membuka neraka yang riang di tegel rumahmu.”

Adegan dan kutipan dibawah ini sedikit unik karena ada proses berinteraksi dengan penonton, proses interaksi ini terjadi dengan melempar cabe kearah penonton seperti bermain bola ping-pong. Adegan ini seperti sebuah adegan performance art (memang banyak adegan performance art dalam naskah ini). Adegan ini mengisyaratkan tentang manusia yang tidak saling mengenal yang bebas melakukan apa saja.  Agaknya posisi beha di sini berbeda dengan yang di atas karena penulis naskah mencoba menerangkan bahwa akal seperti beha yang digunakan untuk menutupi sesuatu yang menyakitkan yang sebenarnya harus kita lakukan atau ketahui, seperti dogma-dogma dalam masyarakat. Berikut ini adalah cuplikan dialognya.

"(TE melemparkan cabe gendot ke arah penonton, seperti memulai permainan ping-pong)

Manusia tidak saling mengenal. Sebuah kisah adalah cara membahasakan kesepian yang tak berjembatan. Tak ada yang lebih buruk dari kisah yang masuk akal. Akal adalah beha.
Beha  adalah kesantunan yang kita bebatkan untuk menahan luapan pelir-pelir yang memuai, dan pedas."


Untuk bagian berikutnya adalah bagian mengenai "Azuma" bagian ini menyusul nanti.
Klik untuk Berlangganan Tulisan

Masukan Email Anda:

0 komentar :

Post a Comment