Bagian 2
Pada babak pertama naskah arkeologi Beha sudah dijelaskan tentang kehidupan masyarakat urban, wanita, dan keluarga. Pada babak kedua naskah Arkeologi Beha ini
menurut saya terdapat dua bagian. Bagian pertama adalah bagian ibu yang banyak
berceramah perihal dapur dan perannya sebagai ibu. Bagian kedua adalah pada
huruf yang dimiringkan sampai akhir yang sebagian besar menjelaskan tentang
“Azuma”.
Dari interpretasi saya permasalahan sex tidak
terlalu kental, kecuali dalam konteks tertentu namun permasalahan sex ini masih
ada. Ketika membaca bagian dua naskah ini seolah saya ingat apa yang dikatakan
oleh orang-orang didekat saya dulu mengenai wanita, bahwa wanita itu mempunyai
3 tugas dalam hidupnya macak (bersolek), masak (masak), manak (manak).
Orang-orang yang berfikiran primitif masih menggunakan pemikiran itu dalam
hidupnya. Seolah tugas wanita itu sangat rendah. Hal ini dapat kita lihat pada potongan
dialog berikut
“Bawang, cabai, terasi, tauge.
Garam ndak perlu. Cukup air ludah ibu. Mulut ibumu dapur tanpa pintu. Semua
gigi diselomot jadi kayu bakar.”
Dialog di atas menurut saya cukup menjelaskan
tentang bagaimana seorang wanita, bahwa dia adalah dapur, mulutnya dapur
seluruh anggota mulutnya adalah dapur, mungkin dia hanya diperbolehkan
membicarakan teks dapur. Wanita juga harus melayani seluruh keluarga, hal ini
juga terdapat dalam potongan dialog berikut ini.
“Hidup perempuan itu kayak daging
dendeng. Dikerat tipis tipis. Dibumbui dan dikeringkan di pelipis bapakmu.
Dicelupkan ke jelantah panas.
Lalu disantap seluruh keluarga.”
Sang ibu sedang berusaha membicarakan nasib
perempuan dalam sudut pandang jawa (mungkin) karena diksi-diksi yang digunakan
adalah diksi-diksi jawa, seperti diksi-diksi peler, dandhang, ngesek, ngrompol, kutang, ghendar, tiwul, mriyayeni
dll.
Ketidak setujuan tentang hal ini mungkin
ditunjukan dengan sikap absurd dari tokoh ibu, sikap absurd ini berupa
kesantaiannya menghadapi kematian, seolah kematian bukan merupakan hal yang
menakutkan tapi hal yang biasa saja seperti seorang ibu yang akan pergi ke
pasar. Hal ini bisa kita lihat di dua potongan dialog berikut ini
“Te, aku ibumu.aku mati
nanti malam. Aku siapkan dulu sarapan
pagimu. “
Kemudian
“Wis yo te, ibu tak mati dulu.”
Kemudian masuk dalam bagian yang diberi tanda
miring atau “Azuma”. Saya berusaha mencari tahu apa itu “Azuma”? awalnya saya
kira “Azuma “ merupakan hewan mitologi dari sebuah peradaban, namun saya tidak
menemukan referensi apapun mengenai Azuma ini. Ada kemungkinan si penulis
naskah memang mengarang sesuatu yang bernama “Azuma”ini.
Pada bagian terakhir ini bahasa yang
ditampilkan mulai menjadi bahasa yang naratif, bahasa yang bercerita dan
menjelaskan, seolah mengatakan bahwa bagian ini adalah kesimpulan secara umum.
Kemudian sedikit terbuka pula makna dari beha pada naskah ini bahwa beha adalah
sesuatu yang harus dibuka karena menutupi sesuati yang murni dan suci atau
malah sebaliknya untuk membuka sesuatu yang menakutkan, seperti kutipan dialog
di bawah ini.
“Selalu ada neraka dalam tubuh
kata kata.
Aku tak sanggup menguburnya.
Neraka selalu tumbuh. Kadang tampak seperti ibumu, ayahmu, atau aku. Sebuah
beha adalah gerbang untuk membuka neraka yang riang di tegel rumahmu.”
Adegan
dan kutipan dibawah ini sedikit unik karena ada proses berinteraksi dengan
penonton, proses interaksi ini terjadi dengan melempar cabe kearah penonton seperti
bermain bola ping-pong. Adegan ini seperti sebuah adegan performance art
(memang banyak adegan performance art dalam naskah ini). Adegan ini
mengisyaratkan tentang manusia yang tidak saling mengenal yang bebas melakukan
apa saja. Agaknya posisi beha di sini
berbeda dengan yang di atas karena penulis naskah mencoba menerangkan bahwa
akal seperti beha yang digunakan untuk menutupi sesuatu yang menyakitkan yang
sebenarnya harus kita lakukan atau ketahui, seperti dogma-dogma dalam
masyarakat. Berikut ini adalah cuplikan dialognya.
"(TE melemparkan cabe gendot ke
arah penonton, seperti memulai permainan ping-pong)
Manusia tidak saling mengenal.
Sebuah kisah adalah cara membahasakan kesepian yang tak berjembatan. Tak ada
yang lebih buruk dari kisah yang masuk akal. Akal adalah beha.
Beha adalah kesantunan yang kita bebatkan untuk
menahan luapan pelir-pelir yang memuai, dan pedas."
Untuk bagian berikutnya adalah bagian mengenai "Azuma" bagian ini menyusul nanti.
Klik untuk Berlangganan Tulisan
0 komentar :
Post a Comment