Wednesday 5 October 2022

Kanjuruan dan Kegagalan Pendidikan Emosi

Pendidikan emosional

 Baru-baru ini santer peberitaan mengenai Tragedi Kanjuruan, Sebuah Tragedi persepakbolaan yang akhirnya menewaskan sekitar 125-174 korban jiwa. Kejadian terjadi ketika laga sepak bola antara dua musuh bebuyutan: Persebaya VS Arema. Pertandingan ini berlangsung di Stadion Kanjuruhan Malang Jawa Timur yang berakhir dengan kemenangan Persebaya atas Arema 3:2. 

Kemenangan Persebaya di kandang Arema membuat seluruh pendukung Arema kalap. Begitu pertandingan usai, banyak dari mereka berbondong-bondong turun ke lapangan. Mereka tidak bisa mengendalikan perasaan tidak terima mereka karena tim jagoannya kalah. Mereka mulai merusak fasilitas, mencoba menyerang Pemain Persebaya, Tim Keamaanan atau sekelompok polisi mulai panik, dan akhirnya terjadilah insiden penembakan gas air mata yang membabi buta. 

Seluruh kejadian di Kanjuruhan adalah ketidak mampuan kita dalam mengendalikan emosi. Para fans tidak bisa menerima emosi negatif. Emosi ini mendorong mereka melakukan tindakan-tindakan anarkis. Emosi-emosi inilah yang menyebabkan mereka tidak bisa berfikiran secara sehat. Dan memang keterampilan mengendalikan emosi tidak diajarkan di sekolah. 

Kemampuan mengendalikan emosi menjadi penting karena emosi itu memang bagian dari diri kita dan akan selalu menyertai kita kemanapun kita berada. Emosi juga bahan bakar utama manusia untuk melakukan sesuatu, termasuk melakukan pembunuhan, pemerkosaan, menolong, dan lain sebagainya. Maka jika kita tidak diajari hidup bersama dengan emosi kita maka emosi kita yang akan sesuka hati mengendalikan diri kita.

Salah satu yang paling terlihat sekarang ini adalah ketidak mampuan kita hidup tanpa handphone. Coba rasakan, emosi apa yang akan kita terima begitu kita tidak memegang handphone selama 3 jam ketika sedang antri? Pasti akan muncul rasa gelisah. Emosi ini juga salah satu hal yang musti kita kendalikan karena memang untuk antri kita tidak perlu handphone, kita hanya perlu menunggu namun emosi mengatakan dan menginginkan hal yang lain sehingga dia menimbulkan reaksi yang lain pula.

Kita tidak pernah diajari jika perasaan gelisah itu datang apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus menuruti kegelisahan kita? Ketika marah itu datang apakah kita harus melakukan apa yang diinginkan oleh marah? Pada kenyataannya seluruh kegiatan kita dikendalikan oleh emosi bahkan mungkin 90 persen kehidupan kita dikendalikan oleh emosi namun pendidikan mengenai emosi itu minim sekali,kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan emotional education terasa sangat jarang.

Padahal usia-usia sekolah adalah puncak dari kerja-kerja emosi. Dalam usia-usia sekolah ini pelajar sering merasakan emosi-emosi yang meluap-luap dan susah untuk mereka kendalikan. Pelampiasan emosi-emosi ini bisa berbentuk pada hal-hal yang negatif yang disebut dengan penyimpangan. Jika mereka tidak diajari untuk menyalurkan emosi yang baik maka bukan tidak mungkin mereka akan menyalurkannya pada hal-hal yang negatif.

Pendidikan Emosi yang berada di sekolah terasa kurang. Guru di kelas hanya fokus pada kegiatan-kegiatan kognitif sehingga pendidikan karakter yang selama ini ada di dalam kurikulum terkesan hanya tempelan atau formalitas saja. Bimbingan Konseling juga tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan pembinaan karakter. Kurikulum kita harus dievaluasi lagi apakah dia memiliki ruang yang cukup untuk aspek-aspek yang lain?

karena pada kenyataannya kehidupan manusia tidak hanya mengenai keunggulan kognitif saja namun ada yang mengatakan 80 persen kesuksesan seseorang ditentukan dari kecerdasan emosionalnya jika pernyataan ini benar berarti kegiatan di sekoah seharusnya 80 persen merupakan pendidikan emosi.


Thursday 25 February 2021

Sekolah Kita yang Tua

Sekolah tidak membuat mereka esktase. Sekolah adalah fase yang harus mereka lalui tanpa paham nikmatnya belajar. Belajar tidak membuat mereka ketagihan atau sakau saat melewatkannya. 
Yang membuat mereka ketagihan adalah gadgetnya, permainan di dalamnya, pornografi yang bisa diakses kapan saja. Kebahagiaan-kebahagiaan yang datang secepat kilat, semudah mereka memainkan jari-jemarinya. Kenikmatan itu sangat mudah diakses. 

Sekolah kalah melawan gadged. mereka lumpuh dihadapan smartphone. Tak berdaya.
Sekolah seperti seorang gadis tua yang telah ditinggalkan. Sekolah tidak mampu bersolek layaknya girlband-girlband korea. Tak mampu beroperasi plastik, tak sanggup membangkitkan adrenalin, tak sanggup memompa dopamin.

Oh sekolahku yang lucu dan menggemaskan berisikan pesolek-pesolek yang terlupakan. Kalah melawan jaman. Menjebak siswa di dalam kotak sempit saling berhimpit. 

Setidaknya begitulah gambaran sekolah kita. Sangat membosankan. Tidak pernah ada inovasi berarti. Kurikulum 13 yang digaung-gaungkan tidak memberikan perubahan yang berarti. Padahal zaman sudah bergerak sangat cepat, baru kemaren jaringan 4g memukau masyarakat dengan kecepatan layaknya superhero flash namun tiba-tiba, belum genap 5 tahun umur jaringan 4 g, sudah lahir saudaranya, jaringan 5g. Sedangkan sekolah kita tetap putih Abu-Abu (seragam)dengan ruang kelas kotak, meja kursi kotak berwarna coklat penuh coretan, meja guru yang selalu berada di sebelah kanan(sudut pandang siswa).

Teknologi bergerak begitu pesat. Seharusnya sekolah juga bergerak dalam kecepatan yang sama. Inovasi-inovasi terus dilahirkan. Revolusi-revolusi terus digaungkan. Perubahan-perubahan terus terjadi.

Tapi seolah sekolah kita dibiarkan untuk seperti itu. Seperti ada kekuatan yang besar yang tidak mengkehendaki sekolah berubah. 

Tuesday 23 February 2021

Kemampuan Belajar Sendiri yang Sexi

Pembelajaran sepanjang hayat adalah salah satu moto yang digaung-gaungkan oleh lembaga pendidikan formal kita. Namun pada kenyataannya? siswa kita tidak pernah di ajari cara belajar. Mereka hanya dituntut untuk belajar tanpa mengerti bagaimanakah belajar itu? Apa itu belajar? Bagaimanakah kiat-kiat belajar dengan efektif dan efisien? Bagaimanakah belajar tanpa guru? Yang dilakukan guru hanyalah mempersiapkan materi tanpa mempersiapkan peserta didik untuk menerima materi.

Sekolah formal kita hari ini mengajari kita untuk menguasai bidang-bidang ilmu yang belum kita pahami gunanya (saya mengatakan "belum" karena sebenarnya ada gunanya belajar mata pelajaran yang ada di sekolah. Nanti akan dibahas lebih lanjut mengapa harus belajar mtk, bhs indo, dll). 

Banyak orang yang sukses dari belajar sendiri. Kita akan banyak menemui musisi-musisi yang tidak pernah mengenyam pendidikan musik formal tapi nyatanya mereka bisa bermain musik. Atau petani-petani tradisional kita yang tidak pernah menerima kuliah di fakultas ilmu pertanian tapi mampu menanam padi lebih baik dari mereka yang mendapat gelar profesor pertanian. Banyak pengusaha kita yang tidak pernah mengenyam pendidikan ekonomi bahkan ada yang tidak tamat SMA namun bisa memiliki armada penerbangannya sendiri dan pernah jadi menteri. mereka semua tidak mengenyam pendidikan secara formal karena mereka memiliki kemampuan atau skill belajar sendiri.

Pendidikan formal kita khususnya SD sampai SMA hanya memiliki sedikit sekali ruang untuk mengajari siswa siswinya belajar secara mandiri. Umumnya di situ ada guru yang bertindak sebagai sumber pengetahuan. Meskipun K13 mengharuskan guru menjadi fasilitator pembelajaran, tetap saja mereka tidak mengajari bagaimanakah belajar tanpa guru sama sekali. 

Sehingga ketika mereka lulus mereka bingung mau melakukan apa? Apa yang harus mereka lakukan dengan pengetahuan mtk mereka? apa yang harus mereka kerjakan dengan pengetahuan biologinya? akhirnya pendidikan kembali mencetak gelombang pengangguran yang pintar matematika, fisika, dll. Bagi mereka yang beruntung, bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi namun bagi yang kurang beruntung? Mau tidak mau mereka harus mengarungi kehidupan kerja. mereka yang memiliki skill belajar otodidak akan mencoba mempelajari hal-hal yang lain maka lahirlah seniman hebat, pengusaha sukses, ilmuan tanpa gelar, dll.

Sekolah formal hanya memberikan akses ilmu pengetahuan yang sesuai dengan standart kurikulum. Bagi mereka yang tidak tertarik dengan ilmu pengetahuan itu atau setengah-setengah dalam mempelajarinya maka mereka akan dicap sebagai siswa yang bodoh. Padahal tidak ada manusia yang bodoh, hanya saja mereka tidak tertarik dengan mata pelajaran itu atau mereka tidak menemukan cara belajar yang cocok bagi mereka.

Maka dari itu tidak heran jika orang yang bodoh dalam sekolah begitu keluar sekolah mereka justru menjadi lebih berhasil. Karena begitu mereka keluar mereka merasa bebas mempelajari hal apapun dengan cara yang mereka sukai. Namun bagi yang sudah merasa bodoh karena sudah didoktrin bodoh ketika keluar sekolah, akhirnya menjadi bodoh dan pecundang maka berhati-hatilah para guru, jangan sampai tindakan dan ucapan kita membuat siswa kita kehilangan kepercayaan dirinya.

Sekarang ini akses pengetahuan adalah sesuatu yang sangat murah. Kita bisa mengakses jurnal-jurnal ilmiah hanya dengan kuota internet, membeli buku hari ini juga cukup gampang dan murah, di internet juga tersedia berbagai video yang bisa kita akses untuk meningkatkan kemampuan kita. Maka dari itu kemampuan untuk belajar secara mandiri mutlak dibutuhkan karena akses ilmu pengetahuan sangat murah dan mudah. Akan sangat mubadzir jika kita tidak bisa memanfaatkan akses pengetahuan kita hari ini.

Manusia adalah makhluk yang bisa mengupgrade pengetahuan dan kemampuannya. Sekolah memang salah satu tempat untuk melakukan itu tapi ingatlah ketika anda keluar dari lembaga pendidikan, anda harus mempelajari segala sesuatunya sendiri. Di titik itulah otodidak diperlukan supaya manusia bisa berkembang secara mandiri. 

Monday 22 April 2019

Pagi Bening dan Keparadoksannya


Madura. Sebuah kata yang mewakili salah satu suku yang cukup fenomenal di Nusantara ini. Madura sering diidentikan dengan kekerasan, mungkin budaya carok dan sejarah sampit membentuk biografi Madura dengan identitas keras-dan ternyata memang begitu adanya. Di samping watak keras yang telah mendarah daging, madura juga memiliki stereotip yang lain di mata etnis lain. Bahkan Agus R Sarjono dalam cerpen Mahwi Air Tawar Mengungkapkan "Madura selalu menempati tempat khas dan unik di batin bangsa Indonesia. Ada satu masa tak ada lawakan yang tidak ada sosok maduranya, tentu dengan logat bicaranya yang khas." Memang, Madura juga kerap diidentikan dengan kelucuan dan keluguan. Saya memiliki banyak kawan Madura, alih-alih menganggap mereka garang saya malah lebih mampu melihat kelucuan dan keluguan mereka.

Paradoks keras dan lucu itulah yang menjadi watak masyarakat Madura dan itu mampu dihadirkan oleh pertunjukan "Pagi Bening" karya Serafin dan Joaquin sutradara: Anwari yang di pentaskan di Pendopo Fakultas Ilmu Budaya Universitas Negeri Jember 1April yang lalu sebagai pertunjukan simulasi yang akan dipertunjukan di Salihara Jakarta. Kerasnya sosok wanita: Masbia dalam pertunjukan itu juga nampak dengan keberaniannya menantang sosok Maskat. Kelucuan demi kelucuan juga dinampakan dari pertengkaran dua tokoh itu. Di awal pertunjukan dua tokoh ini berebut tempat untuk duduk melihat pertunjukan "Topeng" kemudian terjadilah percekcokan, bahkan saling umpat dan saling ejek yang akhirnya didamaikan oleh kopi lalu berlanjut obrolan-obrolan santai dan intim yang menceritakan masa lalu orang terdekat mereka yang saling cinta tapi tidak pernah bisa bersatu padahal itu adalah masa lalu mereka sendiri. Mereka akhirnya mengetahui bahwa lawan bicaranya itu (Masbia dan Maskat) adalah mantan kekasihnya. Dua tokoh yang mungkin sudah memasuki usia sekitar 70an itu masing-masing membawa pembantu yang kadang menampilkan kelucuan khas madura, dengan logat dan tingkah polah khas masyarakat udik. Elyda K, dengan piawai mampu mentransformasi teks ini ke dalam budaya etnis Madura (perjodohan sejak dalam kandungan, kehidupan kyai di madura, harga diri, dll.), dia menarik peristiwa-peristiwa PKI ke dalam teks ini yang mungkin akan menjadi sebuah teks yang bermuatan sejarah.

Secara keseluruhan adaptasi teks yang dilakukan sangat rapi. Kerapiannya ini bisa menjadi paradoks: kelebihan sekaligus kekurangannya (setidaknya menurut saya). Jika saya andaikan Elyda sudah mampu mengganti kulit putih manusia sepanyol menjadi kulit coklat manusia madura beserta identitas lain yang menyertainya. Dalam artian struktur dramatik dari teks ini sebenarnya tidak berubah terlalu banyak: eksposisi, komplikasi, evaluasi, dan resolusinya pada tempat dan porsi yang kurang lebih sama dengan naskah aslinya. Hal ini merupakan proses adaptasi yang ketat dengan tidak membongkar satupun kerangka dramatik yang diciptakan pengarangnya.

Pada awal saya mendengar bahwa Anwari akan pentas menggunakan naskah "Pagi Bening" saya menganggapnya sebagai lelucon dengan intensitas kelucuan yang tinggi. Saya seperti mendengar Burger Kill yang ingin menyanyikan lagu Yolanda. Anwari dikenal sebagai seniman teater yang banyak membawa bentuk pertunjukan yang erat kaitannya dengan teater tubuh. Saya jadi kembali mengira-ngira "seperti apa kira-kira pertunjukannya?" Saya membayangkan pengadaptasian dilakukan dengan "liar" menerobos kaidah-kaidah realis dan menjadi dirinya seperti biasa. Saya jadi ingat "Machine Hamlet" karya Heiner Muller, saya kira, adaptasinya akan jadi semacam itu. Dimana Muller mungkin bukan mengadaptasi lagi tapi mendekontrukasi naskah drama "Hamlet" sehingga struktur, tematik, dialog benar-benar dimutilasi kemudian dari potongan-potongannya muncul makhluk yang baru dari kuburan Shakespare.

Tipografi Panggung Parafoks

"Kami mencoba menciptakan ruang-ruang privat antar aktor" ungkap dramaturg pertunjukan malam itu, Yuda. Sementara anwari ingin menghilangkan sekat antara pemain dan penonton

Panggung dibuat menjadi lima ruang (mungkin). Ruang 1: tokoh maskat, Ruang 2: tokoh masbia, Ruang 3: pembantu Masbia, ruang 4 pembantu Maskat, ruang 5: para pemusik. Mereka dengan disiplin berada di dalam ruang masing-masing dan tidak memasuki ruang pemain yang lain meskipun naskah mengharuskan mereka berinteraksi secara fisik hal itu dilakukan dengan seolah-olah. Seolah mereka berdampingan padahal tidak. Seperti cermin yang terbelah-belah.

Tawaran pemanggungan semacam ini cukup menarik. Namun menjadi sebuah kemubaziran ketika aktor-aktor masih ada di panggung yang sama akhirnya penonton masih melihatnya sebagai sebuah kesatuan. Pemanggungan semacam ini memungkinkan tokoh satu dan yang lain tidak berada di lingkup prosenium yang sama. Pemanggungan semacam ini memungkinakan untuk merespon lingkungan sekitar pertunjukan dengan meletakan aktor satu di bawah pohon dan aktor yang lain di tempat lapang dan terbuka atau bahkan di kuburan (jika perlu).

Keparadoksannya juga tidak dikelola secara konsisten. Pecahnya batas panggung dan pentonton hanya diciptakan oleh satu tokoh saja:Masbia. Di awal pertunjukan dia mengatakan bahwa pertunjukan ini akan dimulai, kemudian dia menunjukan kekayaannya dengan membagi-bagikan uang kepada penonton. Tapi pecahnya ruang privat ini tidak dilakukan oleh tokoh yang lain.

Secara keaktoran masing-masing tokoh mampu menunjukan kekuatannya di panggung. Mereka mampu mengolah dan membentuk suasana Madura dengan logat (ketika bicara Bahasa Madura), imajinasi, dan tingkahnya. Secara keselurahan aktor bermain cukup bagus, hanya saja mereka masih terjebak dengan logat Bahasa Indonesia. Entah ini strategi yang digunakan penggarap atau bagaimana? Tapi saya melihat ketika aktor(khususnya Masbia) mendialogan dialog Berbahasa Indonesia kemaduraannya menjadi hilang. Secara Fonetik dan intonasi dia menggunakan milik Bahasa Indonesia logat Maduranya hilang ketika menggunakan Bahasa Indonesia.

Secara individual Anwari susah dipisahkan dengan teater tubuh maupun teater antropologinya (yang masih berbau ketubuhan). Pertunjukan yang memperoleh kehormatan tampil di Salihara pada tanggal 8-9 April ini bagi saya seperti upaya melepaskan diri dari biografi yang dibangun Anwari sendiri. Bukan berarti yang dia lakukan salah tapi saya rasa ini adalah sebuah langkah berkembangnya Padepokan Seni Madura dan Anwari. Sebagai sebuah perjalanan tentu ada tujuan yang ingin dicapai. Dan saya rasa pertunjukan yang indah karya Padepok Seni Madura ini akan mempengaruhi biografi mereka selanjutnya.


Tuesday 16 April 2019

Kekerasan dalam Dunia Pendidikan dan Emotional Quotient

Masih melekat diingatan kita kasus mengenai seorang anak smp di Gresik yang menantang gurunya. Kemudian berlusin-lusin guru yang dijebloskan ke penjara gara-gara melakukan tindakan kekerasan kepada muridnya dengan dalih bentuk punishment.Ada pula seorang murid di Sampang Madura yang memukul gurunya hingga tewas. Juga yang baru saja menyita perhatian kita semua-selain pilpres- tagar #justiceforaudrey. Dan beragam bentuk kekerasan lain di dalam dunia pendidikan. Semakin maraknya kasus kekerasan di dalam lembaga pendidikan seharusnya menjadi evaluasi untuk selanjutnya pendidikan berevolusi untuk mengatasi berbagai masalahnya.

Kekerasan terjadi karena bentuk pelampiasan dari kemarahan atau emosi yang lain. Kekerasan terjadi karena manusia tidak menemukan cara untuk meredam atau melampiaskannya dalam bentuk yang lain. Maka dari itu menemukan atau mengajarkan cara untuk mempergunakan emosi untuk hal yang positif perlu diajarkan di dalam dunia pendidikan. Bahkan mungkin dimasukan ke dalam kurikulum secara langsung. Bukankah kesuksesan seseorang banyak dipengaruhi oleh emotional quotient?

Ketidakmampuan mengontrol emosi ini bukan hanya menyebabkan kekerasan namun bisa berakibat yang lain: permusuhan, bullying (online atau offline), depresi, bunuh diri, dll.

Internet sebagai penyumbang peradaban terbesar saat ini juga berkontribusi besar untuk memperlihatkan kepada kita sampai dimanakah kemampuan kita dalam mengontrol emosi. Jika anda lihat di dalam kolom komentar sebuah berita yang hangat atau sensasional, di situ bersemayam komentar nyinyir bentuk pelampiasan emosi mereka. Di dalam kolom-kolom komen game onlinepun juga sama, kata atau kalimat pedas bahkan sampai mengumpat akan banyak kita jumpai dan ironisnya banyak di antaranya adalah anak-anak usia sekolah bahkan ada yang masih SD.

Sama halnya seperti kekerasan, kolom komentar yang terkadang menjadi lahan olok-olok adalah bentuk pelampiasan kekesalan karena emosi yang terpancing. Orang-orang ini dengan cepat menggunakam media sosial untuk melampiaskan rasa marahnya. Tidak jarang apa yang mereka lakukan ini justru berbuntut ke penjara karena melanggar UU ITE.

Selama ini yang dipahami oleh masyarakat bahkan oleh sebagian pendidik sendiri, pembelajaran emosional dilakukan dengan memanggil lembaga luar untuk melakukan semacam shock therapy. Menurut saya, hal ini hanya hiburan sehari saja untuk melihat siswa kita menangis secara maraton dalam sebuah ruangan dengan memperdengarkan ilustrasi sedih dan memperlihatkan slide-slide yang berisi gambar-gambar mengerikan. Pendidikan emosional itu perlu dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Emosi itu lebih rumit dan terlalu sedehana untuk ditaklukan dalam sehari. Efek yang cepat juga akan menghilang secepat dia datang.

Pengendalian emosi adalah perang yang paling besar. Melawan musuh besar seharusnya diajarkan mulai dini. Hal ini juga pernah dipesankan oleh Rasulullah: pada saat kaum muslimin selesai Perang Uhud Rasulullah SAW berkata, "Kita baru pulang dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu." Perkataan Rasulullah ini juga patutnya kita jadikan renungan untuk lebih memahami apa yang ada di dalam tubuh kita masing-masing. Dan pendidikan harus mengambil andil dalam peperangan ini.

Tuesday 25 April 2017

Sekilas Tentang Teater Kaum Tertindas


Konsep ini adalah milik August Boal, seorang dramawan asal Brazil yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak akan terlepas dari tindakan politik, termasuk teater. Jika membaca tulisannya, pernyataannya ini mungkin didasari dari kondisi politik negaranya yang bergejolak pada saat itu sehingga dia menggunakan teaternya untuk menggerakan masyarakat pada usaha revolusi.

Dalam bukunya "Teater Kaum Tertindas" Boal sering menyatakan "Barangkali teater tidaklah revolusioner dalam dirinya sendiri; tetapi tidak usah ragu, ia adalah latihan revolusi!" hal ini merupakan konsep dasar berpikir teater Boal. Bagi dia teater bukan untuk katarsis seperti teater Aristotelian maupun menumbuhkan pemikiran kritis saja seperti konsep Brectian namun teater harus bisa menciptakan revolusi pada penontonnya.

Teater kaum borjuis adalah teater yang mendikte masyarakat dengan segala peralatannya, khususnya aktor. Di dalam Teater Kaum Tertindas, aktor tidak memiliki kuasa apa-apa untuk mendikte penonton mengenai nilai-nilai namun penontonlah yang menentukan nila-nilai tersebut untuk kemudian dimasukan ke dalam panggung. Penonton tidak hanya dijadikan objek mati dalam pertunjukan namun penonton berperan sentral dalam pertunjukan karena dialah subjek pertunjukan sedangkan aktor nyaris dijadikan objek total oleh penonton.

Teater jenis ini adalah metode supaya penonton melakukan tindakan atau aksi yang nyata karena penonton tidak hanya dijadikan objek pasif tapi mereka juga turut menentukan jalan cerita, mengatur aktor, bahkan mereka bisa saja bermain di dalamnya (Spek-aktor).

Penontonlah yang paling mengetahui apa yang mereka inginkan dalam sebuah permasalahan. Apalagi itu permasalahan yang menyangkut dirinya. Hal ini pernah diceritakan di sebuah wawancara bahwa dia pernah melakukan pentas untuk komunitas petani di daerah timur laut Brazil, pemain utama angkat pedang dan berkata “Kita tumpahkan darah demi tanah kita” mereka bernyanyi, menari, berakting, dan berpakaian seperti petani, mereka Nampak seperti petani tapi sesungguhnya bukan. Dan mereka berteriak “Kalian harus tumpahkan darah! Darah kita untuk selamatkan tanah kita!” lalu seorang di antara petani (sungguhan) yang menonton berkata “Kalian berpikir seperti kami dan kalian punya pedang bagus di panggung. Kenapa tak bawa pedang kalian dan bersama kami melawan tuan tanah yang merampas tanah kami? Mari tumpahkan darah kita. Boal dan kelompoknya menjawab “Maaf, tapi ini bukan pedang sungguhan. Ini hanya pedang untuk perlengkapan panggung” petani itu berkata lagi “oke itu pedang palsu, tapi kalian punya kebaikan, itu senjata abadi. Mari berjuang bersama kami.” Boal kembali menjawab “Tidak. Kami adalah seniman, bukan petani sebenarnya” petani itu berkata lagi “saat seniman berkata ‘tumpahkan darah kita’ kalian bicara tentang darah sebenarnya dari kami, petani sebenarnya. Bukan darah kalian”. Akhirnya Boal menyadari bahwa kita tak bisa menyampaikan pesan pada perempuan sebab kita lelaki, pada kulit hitam sebab kita kulit putih, pada petani sebab kita orang kota. Tapi kita bisa bantu menemukan cara berjuang mereka sendiri

Dari hal tersebut dia sadar bahwa penonton sendirilah yang mengetahui jalan keluar manakah yang pas untuk kondisi mereka dan nilai-nilai apasajakah yang bisa mereka pegang. Teater konvensional bagi Boal terlalu memaksakan kehendaknya mengenai sebuah pemikiran, karena setiap tempat memiliki kebudayaan dan adat yang berbeda maka mereka juga memegang nilai-nilai yang berbeda.

Untuk mencapai keadaan-keadaan yang revolusioner pada tubuh penonton, Boal menggunakan beberapa metode. Sebenarnya metode-metode ini mirip dengan teater game. Metode-metode yang digunakan Boal rata-rata mungkin sudah pernah kita pelajari dalam latihan dasar teater kita sebelum memasuki naskah, hanya saja diterapkan pada saat pertunjukan pada penonton.




Monday 17 April 2017

Catatan Hatedu Pawon Carklacer

Bagi saya hatedu itu hanyalah sebuah nama dan sebuah formalitas untuk bersama-sama berpentas. Teater dalam perjalanannya mulai digantikan oleh media elektronik namun teater dengan segala tetek bengeknya masih menawarkan artistik dan daya pengucapan yang tidak bisa digantikan dengan layar smartphone: Keintiman, kejujuran, dan kemurnian.

Pertanyaan berikutnya yang perlu dijawab adalah seberapa pentingkah teater untuk sebuah peradapan? Di masa lalu teater dianggap sebagai sesuatu yang diperlukan untuk merefleksikan kehidupan, ritual, dan simbol sebuah peradapan. Namun hari ini? Apakah teater masih bisa menjadi barometer itu semua atau perannya sudah habis? Dan digantikan dengan bentuk yang lain. Apakah yang terjadi jika masyarakat kehilangan teater?

Masih banyak sederet pertanyaan existensial mengenai teater yang harus kita jawab bersama untuk selanjutnya kita putus kan akan kita hidupkan atau bunuh bersama-samakah teater?

Dalam momen Hatedu ini, Pawon Cerklacer yang bekerjasama dengan berbagai komunitas mencoba menjawabnya dengan mengumpulkan berbagai pertunjukan untuk kita renungkan bersama layakah teater tumbuh di antara peradaban kita hari ini? Atau mari bersama-sama kita akhiri peradaban teater kita.

Nayla dan Imajinasi Yang Runtuh

Sex, wanita, tubuh, dan imajinasi mungkin serangkaian laku teater dalam kamar laki-laki.

Panggung yang dibiarkan remang dengan sorotan layar monitor menerpa wajah aktor dengan samar-samar kemudian muncul lagu seriosa yang menambah suasana gotik dalam gedung PKM membuka pementasan malam itu. Ada layar LCD proyektor yang terlihat membuka folder dan dilanjutkan membuka microsoft word. Dari sini saya merasakan kedekatan yang monumental dalam atmosfir yang tersusun pada malam itu.

Aktor melanjutkan perjalanan cerita malam itu dengan mengetik dalam gelap yang remang. Seluruh pertunjukan dirajut dengan suara ketikan cerpen Jenar Maesa Ayu yang berjudul "Menyusu Ayah" yang menceritakan kisah seorang anak yang sedari kecil menyusu kemaluan ayahnya yang akhirnya berakhir pada kehamilannya lalu diakhiri kemunculan aktor yang menegaskan bahwa dirinya adalah Nayla, kemunculannya yang meruntuhkan segala bangunan yang disusun dari puing-puing dramaturgi (realis) yang ia kacaukan sendiri. Kemunculan yang akhirnya meruntuhkan dramaturginya sendiri.

Imajinasi kita sebagai penonton yang membaca terbangun bersama alunan lagu seriosa yang dijejalkan ke dalam telinga kita. Sebuah pertunjukan yang berbasis gagasan. Mengedepankan idealisme untuk menyampaikan gagasan dengan konsep pemanggungan untuk memperkuat gagasannya.

Keberadaan wanita dengan segala imajinasi liar mengenai tubuh dan keber-ada-annya dalam sudut pandang pemuas hasrat terbangun dalam imajinasi saya sebagai penonton. Cerita itu merajut visual dirinya dalam kepala saya dengan alunan musik seriosa. Namun sungguh sangat disayangkan kemunculan aktor diakhir yang tidak memiliki kekuatan apa-apa dan kesannya menjadi tempelan dan formalitas belaka.

Badogan:Perut Mengalahkan Kepala

Badogan adalah bahasa Jawa yang paling kasar yang menggantikan diksi mangan, nedho, madang (baca:makan) dll.

Badogan sebuah pertunjukan nirdialog yang disuguhkan dengan gagasan yang gurih oleh STJ (studiklub teater jember). Gagasan yang akan terus tumbuh dan berganti kulit. Saya jadi ingat salah satu potongan puisi Rendra yang berjudul "Sajak Orang Lapar" bunyinya seperti ini

" Allah !
burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin
Kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan
Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran"

Antara puisi Rendra yang berjudul "Sajak Orang Lapar" dan pertunjukan STJ mewakili semangat yang sama. Kelaparan mampu mengalahkan logika, etika, moral, apalagi kebudayaan. Kelaparan mampu berevolusi menjadi kerakusan, kediktatoran, lalu menegaskan keberadaan manusia yang sama dengan hewan.

Pertunjukan yang 75%isinya adalah adegan makan (imajinatif maupun sebenarnya) dan saling memakan, mengisi relung-relung sudut panggung dengan gruping-gruping yang tersusun rapi dan renyah. Ada dua aktor di sisi kanan dan kiri yang terlihat membangun dimensi yang berbeda dengan pertunjukan yang ada ditengahnya. Seolah aktor yang ada di kanan adalah pencatat dengan aksi yang terus mengetik dengan mesin tik dan aktor di kiri (yang diperankan pak ajiz, sutradara) adalah pembaca yang terus membaca koran. Seolah peristiwa kelaparan yang terjadi di tengah adalah rangkaian huruf yang membentuk sejarah manusia dan akan terus berubah narasi namun memiliki saripati yang sama.

Anak Angsa Yang Ingin Mencapai Bulan


Sebentar, kenapa saya menulis judul yang seperti ini? Entahlah, saya akan mencoba mengupas pertunjukan Teater Angsa dari SMK 5 Jember meskipun saya tidak konsen dalam melihatnya karena saya dalam kondisi deg-degan sebab setelah ini saya juga pentas. (Paragraph gak penting)

Hmm... Tubuh se imut mereka sedang mengartikulasikan tragedi hilangnya para aktipis. Ini adalah seauatu yang sah dan merupakan bentuk menolak lupa terhadap sejarah kelam bangsa ini. Seandainya semua anak SMA seperti itu, borok penguasa negeri akan terus melekat dalam ingatan kolektif kita dan menegaskan pemerintah itu bukan ayah kita sepenuhnya tapi mereka juga musuh kita yang patut kita curigai.

Meskipun secara pertunjukan mereka mengusung konsep nonrealis namun dalam akting mereka masih mencoba menjadi orang lain dan di sinilah mereka perlu belajar menubuhkan tokoh atau memanggungkan tubuh

Tubuh-tubuh yang dijejali tema yang jauh dari sejarah tubuh mereka terlihat cukup jelas. Sehingga keragu-raguan tubuh terlihat cukup miris. Rajutan tubuh yang ragu-ragu menemani atmosfir pada malam itu. Saya merasa ada jarak yang cukup jauh antara tubuh, adegan, dan diksi-diksi yang mereka sampaikan mungkin observasi yang mereka melakukan adalah observasi alakadarnya ( hanya dari lagu efek rumah kaca). Padahal tema-tema semacam ini adalah tema yang sensitive dan memerlukan observasi mendalam agar tubuh aktor-aktornya mampu menangkap spirit temanya sehingga tubuhnya tidak hanya bergerak namun juga menyemburkan aura tema yang mereka angkat. Akhirnya adegan-adegan yang seharusnya kuat menjadi hambar.

Kurma Dan Hal-hal Yang Tak Tersampaikan

Saya harus gimana ya memulainya? Soalnya saya yang menyutradarainya sekaligus menjadi aktor, masak iya, saya juga mencoba mengkritik pementasan saya sendiri. Biarlah ini menjadi catatan pribadi saya sebagai penggarap.


Konsep saya adalah mengaburkan dinding ke empat yang memisahkan antara penonton dan alam panggung. Sebenarnya tujuan saya adalah konsep pemanggungan Brecht yang mampu merangsang daya kritis penonton dengan menyadarkan mereka bahwa ini hanyalah pertunjukan. Tapi entahlah, bentuk pertunjukan yang mirip dengan konsep pertunjukan tradisi ini menawarkan komedi sebagai pembalut gagasan-gagasannya. Jangan-jangan penonton tidak melihat pertunjukan sebagai sesuatu yang perlu dikritisi namun melihat pertunjukan sebagai sesuatu yang harus ditertawai. Mengingat tradisi menonton kita cenderung menertawakan mungkin kita bangsa yang suka menertawakan orang lain, seperti tradisi-tradisi teater yang diadopsi televisi, mereka membuat teater harus ditertawakan.

Jangan-jangan bentuk alienasi pertunjukan ini justru membuat mereka lupa dengan kehidupan mereka karena humor yang disampaikan justru membuat orang lupa terhadap esensi yang ada di dalamnya. Itulah kelemahan bentuk pemanggungan ini. Humor di dalam tradisi kita selalu dipandang sebagai obat lupa, obat lupa terhadap segala carut-marutnya kehidupan kita.

Teror Botol yang Hoax


Sebelumnya saya tegaskan, saya hanya melihat gladinya saja. Pementasan dari teater gelanggang ini menawarkan akting yang menjadi diri sendiri yang sibuk dan bermain-main seperti mereka setiap harinya.

Saya pernah menonton pementasan Teater Gelanggang beberapa tahun yang lalu bersama UKM Kesenian UNEJ dan saya rasa pementasan mereka yang kemaren, "Anatomi Botol" merupakan bentuk pembuktian mereka bahwa mereka sudah berkembang dan mulai menemukan bentuk mereka.

Banyak sekali suara botol jatuh, suara botol digesek-gesek. Botol secara audio meneror penonton. Banyak botol dilempar-lempar, botol digantung-gantung bahkan beberapa kepala mereka diganti dengan galon. Teror botol secara audio maupun visual mengepung gedung pertunjukan malam itu, menjadikan gedung banjir botol.

Menegaskan bahwa kita masyarakat urban tidak bisa jauh dari barang-barang plastik atau botol plastik. Namun yang menarik adalah seolah-olah botol di sini memiliki makna ganda, selain botol secara sebenarnya, sutradara ingin mengarahkan botol sebagai simbol media. Botol yang ditiup hoax, botol yang dijadikan alat komunikasi, presenter yang menarik penonton untuk di interogasi pertanyaan hoax dan melahirkan jawaban-jawaban hoax secara sepontan namun terstruktur.

Pertunjukan ini sebagian besar dirajut dari jalinan laku performance art. Di dalam perfotmance art tidak ada akting, dan tipuan., semua dilakukan dengan jujur dan apa adanya.

Namun yang menarik adalah explorasi kawan-kawan gelanggang yang tetap tidak meninggalkan siapa mereka? Dalam artian explorasi yang mereka lakukan adalah guyonan mereka setiap hari jadi bagi yang mengenal mereka, yang mereka lakukan adalah main-main dan celoteh mereka sehari-hari. Mereka hanya mentransfernya ke dalam bentuk pemanggungan. Bahkan sebelum masuk mereka sempat bermain-main di luar panggung, main-main yang meneror penonton dengan kebisingan suara botol digesek dan celotehan-celotehan mereka.

Namun bagi saya ada sebuah kesayangan yang berupa inkonsistensi dalam pertunjukan itu. Mungkin mereka ingin memberikan aksen tertentu atau apa? namun saya merasa ada sebuah adegan yang kurang pas (di hati saya), yakni: ketika masuk gerakan butoh dalam tubuh aktor berkepala galon, mereka akhirnya mencoba keluar dari dimensi awal yang mereka bangun yakni dimensi kejujuran dan kepolosan mereka dari rangkaian akting performance art. Di awal mereka menawarkan tubuh yang polos dan tanpa tendesi untuk "menjadi" namun diruntuhkan oleh tubuh butoh mereka sendiri.

Hartedu Itu Cuma Alibi

Entahlah. Bagi saya pribadi Hatedu hanyalah sebuah alibi untuk bersama-sama pentas. Tidak ada cita-cita yang muluk-muluk bagi saya meskipun sebenarnya ada rangkaian acara yang tidak terlaksana namun bagi saya bisa pentas dan melihat bagaimana kelompok lain juga memiliki semangat yang sama, sudah cukup.


Sebuah pertanyaan penting yang harus dijawab oleh para pelaku teater malam itu adalah “Kapan Pentas Lagi?”